Profesi
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan (occupation) yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetapi belum tentu dikatakan memiliki profesi yang sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup untuk menyatakan suatu pekerjaan dapat disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksaan, dan penguasaan teknik intelektual yang merupakan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Adapun hal yang perlu diperhatikan oleh para pelaksana profesi.
1. Etika Profesi
Berkaitan dengan bidang pekerjaan yang telah dilakukan seseorang sangatlah perlu untuk menjaga profesi dikalangan masyarakat atau terhadap konsumen (klien atau objek). Dengan kata lain orientasi utama profesi adalah untuk kepentingan masyarakat dengan menggunakan keahlian yang dimiliki. Akan tetapi tanpa disertai suatu kesadaran diri yang tinggi, profesi dapat dengan mudahnya disalahgunakan oleh seseorang seperti pada penyalahgunaan profesi seseorang dibidang komputer misalnya pada kasus kejahatan komputer yang berhasil mengcopy program komersial untuk diperjualbelikan lagi tanpa ijin dari hak pencipta atas program yang dikomesikan itu. Sehingga perlu pemahaman atas etika profesi dengan memahami kode etik profesi.
2. Kode Etik Profesi
Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana seseorang sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi. Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi :
Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan keja (kalanggan social).
Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.
3. Penyalahgunaan Profesi
Dalam bidang computer sering terjadi penyalahgunaan profesi contohnya penjahat berdasi yaitu orang-orang yang menyalahgunakan profesinya dengan cara penipuan kartu kredit, cek, kejahatan dalam bidang komputer lainnya yang biasa disebut Cracker dan bukan Hacker, sebab Hacker adalah Membangun sedangkan Cracker Merusak. Hal ini terbukti bahwa Indonesia merupakan kejahatan komputer di dunia diurutan 2 setelah Ukraine . Maka dari itu banyak orang yang mempunyai profesi tetapi tidak tahu ataupun tidak sadar bahwa ada kode Etik tertentu dalam profesi yang mereka miliki, dan mereka tidak lagi bertujuan untuk menolong kepentingan masyarakat, tapi sebaliknya masyarakat merasa dirugikan oleh orang yang menyalahgunakan profesi.
4. Kesimpulan
Kesadaran itu penting dan lebih penting lagi kesadaran itu timbul dari Diri kita masing - masing yang sebentar lagi akan menjadi pelaksana profesi di bidang komputer disetiap tempat kita bekerja, dan selalu memahami dengan baik atas Etika Profesi yang membangun dan bukan untuk merugikan orang lain
Senin, 18 Oktober 2010
Minggu, 17 Oktober 2010
Profesi
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan (occupation) yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetapi belum tentu dikatakan memiliki profesi yang sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup untuk menyatakan suatu pekerjaan dapat disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksaan, dan penguasaan teknik intelektual yang merupakan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Adapun hal yang perlu diperhatikan oleh para pelaksana profesi.
1. Etika Profesi
Berkaitan dengan bidang pekerjaan yang telah dilakukan seseorang sangatlah perlu untuk menjaga profesi dikalangan masyarakat atau terhadap konsumen (klien atau objek). Dengan kata lain orientasi utama profesi adalah untuk kepentingan masyarakat dengan menggunakan keahlian yang dimiliki. Akan tetapi tanpa disertai suatu kesadaran diri yang tinggi, profesi dapat dengan mudahnya disalahgunakan oleh seseorang seperti pada penyalahgunaan profesi seseorang dibidang komputer misalnya pada kasus kejahatan komputer yang berhasil mengcopy program komersial untuk diperjualbelikan lagi tanpa ijin dari hak pencipta atas program yang dikomesikan itu. Sehingga perlu pemahaman atas etika profesi dengan memahami kode etik profesi.
2. Kode Etik
ProfesiKode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana seseorang sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi. Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi :
Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan keja (kalanggan social).
Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.
3. Penyalahgunaan ProfesiDalam bidang computer sering terjadi penyalahgunaan profesi contohnya penjahat berdasi yaitu orang-orang yang menyalahgunakan profesinya dengan cara penipuan kartu kredit, cek, kejahatan dalam bidang komputer lainnya yang biasa disebut Cracker dan bukan Hacker, sebab Hacker adalah Membangun sedangkan Cracker Merusak. Hal ini terbukti bahwa Indonesia merupakan kejahatan komputer di dunia diurutan 2 setelah Ukraine . Maka dari itu banyak orang yang mempunyai profesi tetapi tidak tahu ataupun tidak sadar bahwa ada kode Etik tertentu dalam profesi yang mereka miliki, dan mereka tidak lagi bertujuan untuk menolong kepentingan masyarakat, tapi sebaliknya masyarakat merasa dirugikan oleh orang yang menyalahgunakan profesi.
4. KesimpulanKesadaran itu penting dan lebih penting lagi kesadaran itu timbul dari Diri kita masing - masing yang sebentar lagi akan menjadi pelaksana profesi di bidang komputer disetiap tempat kita bekerja, dan selalu memahami dengan baik atas Etika Profesi yang membangun dan bukan untuk merugikan orang lain
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan (occupation) yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetapi belum tentu dikatakan memiliki profesi yang sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup untuk menyatakan suatu pekerjaan dapat disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksaan, dan penguasaan teknik intelektual yang merupakan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Adapun hal yang perlu diperhatikan oleh para pelaksana profesi.
1. Etika Profesi
Berkaitan dengan bidang pekerjaan yang telah dilakukan seseorang sangatlah perlu untuk menjaga profesi dikalangan masyarakat atau terhadap konsumen (klien atau objek). Dengan kata lain orientasi utama profesi adalah untuk kepentingan masyarakat dengan menggunakan keahlian yang dimiliki. Akan tetapi tanpa disertai suatu kesadaran diri yang tinggi, profesi dapat dengan mudahnya disalahgunakan oleh seseorang seperti pada penyalahgunaan profesi seseorang dibidang komputer misalnya pada kasus kejahatan komputer yang berhasil mengcopy program komersial untuk diperjualbelikan lagi tanpa ijin dari hak pencipta atas program yang dikomesikan itu. Sehingga perlu pemahaman atas etika profesi dengan memahami kode etik profesi.
2. Kode Etik
ProfesiKode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana seseorang sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi. Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi :
Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan keja (kalanggan social).
Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.
3. Penyalahgunaan ProfesiDalam bidang computer sering terjadi penyalahgunaan profesi contohnya penjahat berdasi yaitu orang-orang yang menyalahgunakan profesinya dengan cara penipuan kartu kredit, cek, kejahatan dalam bidang komputer lainnya yang biasa disebut Cracker dan bukan Hacker, sebab Hacker adalah Membangun sedangkan Cracker Merusak. Hal ini terbukti bahwa Indonesia merupakan kejahatan komputer di dunia diurutan 2 setelah Ukraine . Maka dari itu banyak orang yang mempunyai profesi tetapi tidak tahu ataupun tidak sadar bahwa ada kode Etik tertentu dalam profesi yang mereka miliki, dan mereka tidak lagi bertujuan untuk menolong kepentingan masyarakat, tapi sebaliknya masyarakat merasa dirugikan oleh orang yang menyalahgunakan profesi.
4. KesimpulanKesadaran itu penting dan lebih penting lagi kesadaran itu timbul dari Diri kita masing - masing yang sebentar lagi akan menjadi pelaksana profesi di bidang komputer disetiap tempat kita bekerja, dan selalu memahami dengan baik atas Etika Profesi yang membangun dan bukan untuk merugikan orang lain
Sabtu, 16 Oktober 2010
tugas Mesin Konversi Energi
1. Gambarkan dan jelaskan siklus termodinamika dari
- Siklus otto
- Siklus diesel
Jawab :
I. SIKLUS OTTO
Proses O-A : Pengambilan/pemasukan/penyedotan gas [campuran bahanbakar dan udara]. Udara ditekan masuk ke dalam silinder pada tekanan atmosfir dan volume naik dari V2 menjadi V1. Proses A-B : Pemampatan/kompresi gas. Gas ditekan secara” adiabatik dari V1 menjadi V2 dan temperaturnya naik dari TA ke TB. Proses B-C : Pemanasan dan” pembakaran gas /udara menerima panas, terjadi proses pembakaran gas (dari percikan api busi), kalor diserap oleh gas Qh. Pada proses ini volume dijaga konstan sehingga tekanan dan temperaturnya naik menjadi pC dan TC.. Proses C-D” :Pendayaankonversi gas, dr tenaga panas ke tenaga gerak. Gas berekspansi secara adiabatik, melakukan kerja WCD. Proses D-A : Pendinginan gas sisa” pembakaran/ pembuangan sebagian panas. Kalor Qc dilepas dan tekanan gas turun pada volume konstan. Proses A-O : Pada akhir proses, pembuangan/pengeluaran gas” sisa pembakaran pada tekanan atmosfir dan volume gas turun dari V1 menjadi V2. Efisiensi termik η = (W neto / Q masuk) = [ Q c-d - Q c-b ] / Q c-d = 1 – η =1 - (r = Vb/Vc = Compression Ratio)
II. SIKLUS DIESEL
Berbeda dengan mesin bensin(Otto), pembakaran gas dilakukan dengan memberikan kompresi hingga tekanannya tinggi. Pada proses BC terjadi pembakaran gas berekspansi sampai V3 dan dilanjutkan ekspansi adiabatik sampai V1. Untuk perbandingan tekanan yang sama , mesin Otto mempunyai efisiensi yang lebih besar dibandingkan dengan mesin Diesel karena itu diesel bekerja pada perbandingan tekanan yang tinggi untuk mencapai efisiensi yang tinggi.
Motor diesel dikategorikan dalam motor bakar torak dan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine). Penggunaan motor diesel bertujuan untuk mendapatkan tenaga mekanik dari energi panas yang ditimbulkan oleh energi kimiawi bahan bakar, energi kimiawi tersebut diperoleh dari proses pembakaran antara bahan bakar dan udara di dalam ruang bakar. Pada motor diesel ruang bakarnya bisa terdiri dari satu atau lebih tergantung pada tujuan perancangan, dan dalam satu silinder dapat terdiri dari satu atau dua torak. Tekanan gas hasil pembakaran akan mendorong torak yang dihubungkan dengan poros engkol menggunakan batang torak, sehingga torak dapat bergerak bolak-balik (reciprocating). Gerak bolak-balik torak akan diubah menjadi gerak rotasi oleh poros engkol. Dan sebaliknya gerak rotasi poros engkol juga diubah menjadi gerak bolak-balik torak pada langkah kompresi
2. Jelaskan perbedaan siklus otto dan diesel 2 tak ?
Jawab :
Perbedaan antara motor diesel dan motor bensin yang nyata adalah terletak pada proses pembakaran bahan bakar, pada motor bensin pembakaran bahan bakar terjadi karena adanya loncatan api listrik yang ditimbulkan oleh dua elektroda busi, sedangkan pada motor diesel pembakaran terjadi karena kenaikan temperatur campuran udara dan bahan bakar hingga mencapai temperatur nyala akibat kompresi torak. Karena prinsip penyalaan bahan bakarnya akibat tekanan maka motor diesel juga disebut compression ignition engine sedangkan motor bensin disebut spark ignition engine.
3. Jelaskan perbedaan langkah ICE 2 tak dan 4 tak ?
Jawab :
Mesin 4-tak dalam satu siklus kerjanya terdiri dari empat tahap yaitu hisap, tekan, ekspansi/usaha, buang. Jika mesin 4 tak memerlukan 2 putaran crankshaft dalam satu siklus kerjanya, maka untuk mesin 2-tak hanya memerlukan satu putaran saja. Hal ini berarti dalam satu siklus kerja 2 tak hanya terdiri dari 1 kali gerakan naik dan 1 gerakan turun dari piston saja. Desain dari ruang bakar mesin 2 tak memungkinkan terjadunya hal semacam itu. Ketika piston naik menuju TMA untuk melakukan kompresi maka katup hisap terbuka dan masuklah campuran bahan bakar dan udara, sehingga dalam satu gerakan piston dari TMB ke TMA menjalankan dua langkah sekaligus yaitu kompresi dan isap. Pada saat sesaat sebelum piston mencapai TMA maka busi menyala, gas campuran meledak dan memaksa piston kembali bergerak ke bawah menuju TMB. Gerakan piston yang ini disebut langkah ekspansi. Namun saat piston melakukan langkah ekspansi atau usaha, sesungguhnya juga melakukan langkah buang melalui katup buang. Hal ini bisa terjadi karena gas hasil pembakaran terdorong keluar akibat campuran bahan bakar dan udara baru yang juga masuk dari sisi kiri dinding silinder.
- Siklus otto
- Siklus diesel
Jawab :
I. SIKLUS OTTO
Proses O-A : Pengambilan/pemasukan/penyedotan gas [campuran bahanbakar dan udara]. Udara ditekan masuk ke dalam silinder pada tekanan atmosfir dan volume naik dari V2 menjadi V1. Proses A-B : Pemampatan/kompresi gas. Gas ditekan secara” adiabatik dari V1 menjadi V2 dan temperaturnya naik dari TA ke TB. Proses B-C : Pemanasan dan” pembakaran gas /udara menerima panas, terjadi proses pembakaran gas (dari percikan api busi), kalor diserap oleh gas Qh. Pada proses ini volume dijaga konstan sehingga tekanan dan temperaturnya naik menjadi pC dan TC.. Proses C-D” :Pendayaankonversi gas, dr tenaga panas ke tenaga gerak. Gas berekspansi secara adiabatik, melakukan kerja WCD. Proses D-A : Pendinginan gas sisa” pembakaran/ pembuangan sebagian panas. Kalor Qc dilepas dan tekanan gas turun pada volume konstan. Proses A-O : Pada akhir proses, pembuangan/pengeluaran gas” sisa pembakaran pada tekanan atmosfir dan volume gas turun dari V1 menjadi V2. Efisiensi termik η = (W neto / Q masuk) = [ Q c-d - Q c-b ] / Q c-d = 1 – η =1 - (r = Vb/Vc = Compression Ratio)
II. SIKLUS DIESEL
Berbeda dengan mesin bensin(Otto), pembakaran gas dilakukan dengan memberikan kompresi hingga tekanannya tinggi. Pada proses BC terjadi pembakaran gas berekspansi sampai V3 dan dilanjutkan ekspansi adiabatik sampai V1. Untuk perbandingan tekanan yang sama , mesin Otto mempunyai efisiensi yang lebih besar dibandingkan dengan mesin Diesel karena itu diesel bekerja pada perbandingan tekanan yang tinggi untuk mencapai efisiensi yang tinggi.
Motor diesel dikategorikan dalam motor bakar torak dan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine). Penggunaan motor diesel bertujuan untuk mendapatkan tenaga mekanik dari energi panas yang ditimbulkan oleh energi kimiawi bahan bakar, energi kimiawi tersebut diperoleh dari proses pembakaran antara bahan bakar dan udara di dalam ruang bakar. Pada motor diesel ruang bakarnya bisa terdiri dari satu atau lebih tergantung pada tujuan perancangan, dan dalam satu silinder dapat terdiri dari satu atau dua torak. Tekanan gas hasil pembakaran akan mendorong torak yang dihubungkan dengan poros engkol menggunakan batang torak, sehingga torak dapat bergerak bolak-balik (reciprocating). Gerak bolak-balik torak akan diubah menjadi gerak rotasi oleh poros engkol. Dan sebaliknya gerak rotasi poros engkol juga diubah menjadi gerak bolak-balik torak pada langkah kompresi
2. Jelaskan perbedaan siklus otto dan diesel 2 tak ?
Jawab :
Perbedaan antara motor diesel dan motor bensin yang nyata adalah terletak pada proses pembakaran bahan bakar, pada motor bensin pembakaran bahan bakar terjadi karena adanya loncatan api listrik yang ditimbulkan oleh dua elektroda busi, sedangkan pada motor diesel pembakaran terjadi karena kenaikan temperatur campuran udara dan bahan bakar hingga mencapai temperatur nyala akibat kompresi torak. Karena prinsip penyalaan bahan bakarnya akibat tekanan maka motor diesel juga disebut compression ignition engine sedangkan motor bensin disebut spark ignition engine.
3. Jelaskan perbedaan langkah ICE 2 tak dan 4 tak ?
Jawab :
Mesin 4-tak dalam satu siklus kerjanya terdiri dari empat tahap yaitu hisap, tekan, ekspansi/usaha, buang. Jika mesin 4 tak memerlukan 2 putaran crankshaft dalam satu siklus kerjanya, maka untuk mesin 2-tak hanya memerlukan satu putaran saja. Hal ini berarti dalam satu siklus kerja 2 tak hanya terdiri dari 1 kali gerakan naik dan 1 gerakan turun dari piston saja. Desain dari ruang bakar mesin 2 tak memungkinkan terjadunya hal semacam itu. Ketika piston naik menuju TMA untuk melakukan kompresi maka katup hisap terbuka dan masuklah campuran bahan bakar dan udara, sehingga dalam satu gerakan piston dari TMB ke TMA menjalankan dua langkah sekaligus yaitu kompresi dan isap. Pada saat sesaat sebelum piston mencapai TMA maka busi menyala, gas campuran meledak dan memaksa piston kembali bergerak ke bawah menuju TMB. Gerakan piston yang ini disebut langkah ekspansi. Namun saat piston melakukan langkah ekspansi atau usaha, sesungguhnya juga melakukan langkah buang melalui katup buang. Hal ini bisa terjadi karena gas hasil pembakaran terdorong keluar akibat campuran bahan bakar dan udara baru yang juga masuk dari sisi kiri dinding silinder.
Selasa, 18 Mei 2010
Wawasan Nusantara
BAB II
WAWASAN NUSANTARA
A. LATAR BELAKANG dan PENGERTIAN
Kata wawasan berasal dari bahasa jawa yaitu wawas (mawas) yang artinya melintang atau memandang, jadi kata wawasan dapat diartikan cara pandang atau cara melihat.
Dalam mewujudkan aspirasi dan perjuangan ada tiga factor penentu utama yang harus diperhaikan oleh suatu bangsa :
1. Bumi/ruang dimana bangsa itu hidup
2. Jiwa,tekad dan semangat manusia/rakya
3. Lingkungan
Wawasan nasional adalah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung (ineraksi & interrelasi) serta pembangunannya di dalam bernegara di tengah-tengah lingkungannya baik nasional, regional,maupun global.
B. LANDASAN WAWASAN NASIONAL
Wawasan nasional dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dianut oleh negara yang bersangkutan.
1.Paham –paham kekuasaan
a. Machiavelli (abad XV11)
Dengan judul bukunya “The Princes” dikatakan sebuah negara itu akan bertahan apabila menerapkan dalil-dalil:
1. Dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan segala cara dihalalkan .
2. Untuk menjaga kekuasaan rezim,politik adu domba (devide et empera) adalah sah.
3. Dalam dunia politik, yang kuat pasti dapat bertahan dan menang.
b. Napoleon Bonaparte (abad XV111)
Napoleon berpendapat kekuatan politik harus didampingi dengan kekuatan logistik dan ekonomi,yang didukung oleh social budaya berupa ilu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa unuk membentuk kekuatan pertahanan keamanan dalam menduduki dan menjajah negara lain.
c. Jendral Clausewitz (abad XV111)
Jendral Clausewitz sempat diusir pasukan Napoleon hingga sampai Rusia dan akhirnya dia bergabung dengan tentara kekaisaran Rusia.Menurut dia perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain.Buat dia perang sah-sah saja untuk mencapai tujuan nasional suatu bangsa.
d. Fuerback dan Hegel (abad XVII)
Menurut mereka ukuran keberhasilan ekonomi suatu Negara adalah seberapa besar surplus ekonominya,terutama diukur dengan seberapa banyak emas yang dimiliki oleh Negara itu.
e. Lenin (abad X1X)
Memodifikasi teori Clausewitz dan teori ini diikui oleh Mao Zhe Dong yaitu perang adalah kelanjutan politik dengan cara kekerasan.
f. Lucian W. Pye dan Sidney
Kebudayaan politik akan menjadi pandangan baku dalam melihat kesejarahan sebagai satu kesatuan budaya.
C. WAWASAN NASIONAL INDONESIA
Wawasan nasional Indonesia dikembangkan berdasarkan wawasan nasional secara universal sehingga dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dipakai negara indonesia.
a. Paham kekuasaan Indonesia
Dengan demikian wawasan nasional bangsa Indonesia tidak mengembangkan ajaran kekuasaan dan adu kekuatan karena hal tersebut mengandung persengketaan dan ekspansionisme.
b. Geopolitik Indonesia
Indonesia menganut paham Negara kepulauan berdasar ARCIPELAGO CONCEPT yaitu laut sebagai penghubung daratan sehingga wilayah Negara menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai Tanah Air dan ini disebut Negara kepulauan .
c. Dasar pemikiran wawasan nasional Indonesia
Untuk itu pembahasan latar belakang filosofi sebagai dasar pemikiran dan pembinaan nasional Indonesia ditinjau dari:
1. Pemikiran berdasarkan falsafah Pancasila
Manusia Indonesia adalah makhluk ciptaan Tuhan yangmempunyai naluri, akhlak dan daya pikir sadar akan keberadaannya yang serba terhubung dengan sesame,lingkungan,alam semesta dan dengan Penciptanya.
2. Pemikiran berdasarkan aspek kewilayahan
Deklarasi Djuanda yang isinya:
a. Segala perairan disekitar,di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang luas/lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar sebagai wilayah daratan Indonesia.
b. Lalu-lintas yang damai diperairan pedalaman bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia.
c. Batas laut teritorial adalah 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia.
3. Pemikiran berdasarkan Aspek Sosial Budaya
Budaya/kebudayaan secara etimologis adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh kekuatan budi manusia.
Secara universal kebudayaan masyarakat yang heterogen mempunyai unsur-unsur yang sama:
- Sistem religi dan upacara keagamaan system masyarakat dan organisasi kemasyarakatan.
- System pengeahuan
- Bahasa
- Keserasian
- System mata pencaharian
- System teknologi dan peralatan
4. Pemikiran berdasarkan aspek kesejarahan
Yang ada berupa slogan-slogan seperi yang ditulis oleh Mpu Tantular yaitu Bhineka Tunggal Ika.
D. Pengertian Wawasan Nusantara
1. Prof.Dr.Wan Usman
Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai Negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam.
2. Kelompok kerja LEMHANAS 1999
Sedangkan pengertian yang digunakan sebagai acuan pokok ajaran dasar Wawasan Nusantara sebagai geopolitik Indonesia adalah:cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai dan menghormati kebhinekaan dalam setiap aspek kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional.
Landasan Wawasan Nasional
Idiil - Pancasila
Konstitusional - UUD 1945
E. Unsur Dasar Wawasan Nusantara
1. Wadah ( Contour)
Wadah kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara meliputi seluruh wilayah Indonesia yang memiliki sifat seba nusantara dengan kekayaan alam dan penduduk serta aneka ragam budaya.
2. Isi (Content)
Adalah aspirasi bangsa yang berkembang di masyarakat dan cita-cita serta tujuan nasional yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945.
3. Tata laku ( Conduct )
Hasil interaksi antara wadah dan isi wasantara yang terdiri dari:
- Tata laku batiniah yaitu mencerminkan jiwa,semangat dan mentalitas yang baik dari bangsa Indonesia.
- Tata laku lahiriah yaitu tercermin dalam tindakan,perbuatan dan perilaku dari bangsa Indonesia.
F. Hakekat Wawasan Nusantara
Adalah keutuhan nusantara/nasional,dalam pengertian : cara pandang yang selalau utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi kepentingan nasional.
G. Asas Wawasan Nusantara
Asas wasantara terdiri dari:
1. Kepentingan/Tujuan yang sama
2. Keadilan
3. Kejujuran
4. Solidaritas
5. Kerjasama
6. Kesetiaan terhadap kesepakatan
G. Kedudukan Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara dalam paradigma nasional dapat dilihat dari hirarkhi paradigma nasional sbb:
־ Pancasila (dasar negara) → Landasan Idiil
- UUD 1945 (konstitusi Negara) → Landasan Konstitusional
- Wasantara (Visi bangsa) → Landasan Visional
- Ketahanan Nasional (Konsepsi Bangsa) → Landasan Konsepsional
- GBHN ( Kebijakan Dasar Bangsa) → Landasan Operasional
Fungsi Wawasan Nusantara adalah pedoman ,motivasi,dorongan serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan,keputusan,tindakan dan perbuatan,baik bagi penyelenggara Negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat dalam kehidupan bermasyarakat,bernegara dan berbangsa.
Tujuan Wawasan Nusantara adalah mewujudkan nasionalisme
Yang tinggi di segala bidang dari rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan orang perorangan,kelompok,golongan,suku bangsa/daerah.
I. Implementasi Wawasan Nusantara
Penerapan Wawasan Nusantara harus tercermin pada pola pikir,pola sikap dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan Negara.
a. Implementasi dalam kehidupan politik adalah menciptakan iklim penyelenggaraan Negara yang sehat dan dinamis,mewujudkan pemerintahan yang kuat,aspiratif,dipercaya.
b. Implementasi dalam kehidupan ekonomi,adalah menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata dan adil.
c. Implementasi dalam kehidupan sosial budaya, adalah menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui,menerima dan menghormati segala bentuk perbedaan sebagai kenyataan yang hidup di sekitarnya dan merupakan karunia Sang Pencipta.
d. Implementasi dalam kehidupan pertahanan keamanan,adalah menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dan membentuk sikap bela Negara pada seiap WNI.
Sosialisasi Wawasan Nusantara
1. Menurut sifat/cara penyampaian :
a. Langsung →ceramah,diskusi,tatap muka
b.Tidak langsung →media massa
2. Menurut meode penyampaian :
a. Ketauladanan
b. Edukasi
c. Komunikasi
d. Integrasi
WAWASAN NUSANTARA
A. LATAR BELAKANG dan PENGERTIAN
Kata wawasan berasal dari bahasa jawa yaitu wawas (mawas) yang artinya melintang atau memandang, jadi kata wawasan dapat diartikan cara pandang atau cara melihat.
Dalam mewujudkan aspirasi dan perjuangan ada tiga factor penentu utama yang harus diperhaikan oleh suatu bangsa :
1. Bumi/ruang dimana bangsa itu hidup
2. Jiwa,tekad dan semangat manusia/rakya
3. Lingkungan
Wawasan nasional adalah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung (ineraksi & interrelasi) serta pembangunannya di dalam bernegara di tengah-tengah lingkungannya baik nasional, regional,maupun global.
B. LANDASAN WAWASAN NASIONAL
Wawasan nasional dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dianut oleh negara yang bersangkutan.
1.Paham –paham kekuasaan
a. Machiavelli (abad XV11)
Dengan judul bukunya “The Princes” dikatakan sebuah negara itu akan bertahan apabila menerapkan dalil-dalil:
1. Dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan segala cara dihalalkan .
2. Untuk menjaga kekuasaan rezim,politik adu domba (devide et empera) adalah sah.
3. Dalam dunia politik, yang kuat pasti dapat bertahan dan menang.
b. Napoleon Bonaparte (abad XV111)
Napoleon berpendapat kekuatan politik harus didampingi dengan kekuatan logistik dan ekonomi,yang didukung oleh social budaya berupa ilu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa unuk membentuk kekuatan pertahanan keamanan dalam menduduki dan menjajah negara lain.
c. Jendral Clausewitz (abad XV111)
Jendral Clausewitz sempat diusir pasukan Napoleon hingga sampai Rusia dan akhirnya dia bergabung dengan tentara kekaisaran Rusia.Menurut dia perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain.Buat dia perang sah-sah saja untuk mencapai tujuan nasional suatu bangsa.
d. Fuerback dan Hegel (abad XVII)
Menurut mereka ukuran keberhasilan ekonomi suatu Negara adalah seberapa besar surplus ekonominya,terutama diukur dengan seberapa banyak emas yang dimiliki oleh Negara itu.
e. Lenin (abad X1X)
Memodifikasi teori Clausewitz dan teori ini diikui oleh Mao Zhe Dong yaitu perang adalah kelanjutan politik dengan cara kekerasan.
f. Lucian W. Pye dan Sidney
Kebudayaan politik akan menjadi pandangan baku dalam melihat kesejarahan sebagai satu kesatuan budaya.
C. WAWASAN NASIONAL INDONESIA
Wawasan nasional Indonesia dikembangkan berdasarkan wawasan nasional secara universal sehingga dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dipakai negara indonesia.
a. Paham kekuasaan Indonesia
Dengan demikian wawasan nasional bangsa Indonesia tidak mengembangkan ajaran kekuasaan dan adu kekuatan karena hal tersebut mengandung persengketaan dan ekspansionisme.
b. Geopolitik Indonesia
Indonesia menganut paham Negara kepulauan berdasar ARCIPELAGO CONCEPT yaitu laut sebagai penghubung daratan sehingga wilayah Negara menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai Tanah Air dan ini disebut Negara kepulauan .
c. Dasar pemikiran wawasan nasional Indonesia
Untuk itu pembahasan latar belakang filosofi sebagai dasar pemikiran dan pembinaan nasional Indonesia ditinjau dari:
1. Pemikiran berdasarkan falsafah Pancasila
Manusia Indonesia adalah makhluk ciptaan Tuhan yangmempunyai naluri, akhlak dan daya pikir sadar akan keberadaannya yang serba terhubung dengan sesame,lingkungan,alam semesta dan dengan Penciptanya.
2. Pemikiran berdasarkan aspek kewilayahan
Deklarasi Djuanda yang isinya:
a. Segala perairan disekitar,di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang luas/lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar sebagai wilayah daratan Indonesia.
b. Lalu-lintas yang damai diperairan pedalaman bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia.
c. Batas laut teritorial adalah 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia.
3. Pemikiran berdasarkan Aspek Sosial Budaya
Budaya/kebudayaan secara etimologis adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh kekuatan budi manusia.
Secara universal kebudayaan masyarakat yang heterogen mempunyai unsur-unsur yang sama:
- Sistem religi dan upacara keagamaan system masyarakat dan organisasi kemasyarakatan.
- System pengeahuan
- Bahasa
- Keserasian
- System mata pencaharian
- System teknologi dan peralatan
4. Pemikiran berdasarkan aspek kesejarahan
Yang ada berupa slogan-slogan seperi yang ditulis oleh Mpu Tantular yaitu Bhineka Tunggal Ika.
D. Pengertian Wawasan Nusantara
1. Prof.Dr.Wan Usman
Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai Negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam.
2. Kelompok kerja LEMHANAS 1999
Sedangkan pengertian yang digunakan sebagai acuan pokok ajaran dasar Wawasan Nusantara sebagai geopolitik Indonesia adalah:cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai dan menghormati kebhinekaan dalam setiap aspek kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional.
Landasan Wawasan Nasional
Idiil - Pancasila
Konstitusional - UUD 1945
E. Unsur Dasar Wawasan Nusantara
1. Wadah ( Contour)
Wadah kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara meliputi seluruh wilayah Indonesia yang memiliki sifat seba nusantara dengan kekayaan alam dan penduduk serta aneka ragam budaya.
2. Isi (Content)
Adalah aspirasi bangsa yang berkembang di masyarakat dan cita-cita serta tujuan nasional yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945.
3. Tata laku ( Conduct )
Hasil interaksi antara wadah dan isi wasantara yang terdiri dari:
- Tata laku batiniah yaitu mencerminkan jiwa,semangat dan mentalitas yang baik dari bangsa Indonesia.
- Tata laku lahiriah yaitu tercermin dalam tindakan,perbuatan dan perilaku dari bangsa Indonesia.
F. Hakekat Wawasan Nusantara
Adalah keutuhan nusantara/nasional,dalam pengertian : cara pandang yang selalau utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi kepentingan nasional.
G. Asas Wawasan Nusantara
Asas wasantara terdiri dari:
1. Kepentingan/Tujuan yang sama
2. Keadilan
3. Kejujuran
4. Solidaritas
5. Kerjasama
6. Kesetiaan terhadap kesepakatan
G. Kedudukan Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara dalam paradigma nasional dapat dilihat dari hirarkhi paradigma nasional sbb:
־ Pancasila (dasar negara) → Landasan Idiil
- UUD 1945 (konstitusi Negara) → Landasan Konstitusional
- Wasantara (Visi bangsa) → Landasan Visional
- Ketahanan Nasional (Konsepsi Bangsa) → Landasan Konsepsional
- GBHN ( Kebijakan Dasar Bangsa) → Landasan Operasional
Fungsi Wawasan Nusantara adalah pedoman ,motivasi,dorongan serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan,keputusan,tindakan dan perbuatan,baik bagi penyelenggara Negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat dalam kehidupan bermasyarakat,bernegara dan berbangsa.
Tujuan Wawasan Nusantara adalah mewujudkan nasionalisme
Yang tinggi di segala bidang dari rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan orang perorangan,kelompok,golongan,suku bangsa/daerah.
I. Implementasi Wawasan Nusantara
Penerapan Wawasan Nusantara harus tercermin pada pola pikir,pola sikap dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan Negara.
a. Implementasi dalam kehidupan politik adalah menciptakan iklim penyelenggaraan Negara yang sehat dan dinamis,mewujudkan pemerintahan yang kuat,aspiratif,dipercaya.
b. Implementasi dalam kehidupan ekonomi,adalah menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata dan adil.
c. Implementasi dalam kehidupan sosial budaya, adalah menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui,menerima dan menghormati segala bentuk perbedaan sebagai kenyataan yang hidup di sekitarnya dan merupakan karunia Sang Pencipta.
d. Implementasi dalam kehidupan pertahanan keamanan,adalah menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dan membentuk sikap bela Negara pada seiap WNI.
Sosialisasi Wawasan Nusantara
1. Menurut sifat/cara penyampaian :
a. Langsung →ceramah,diskusi,tatap muka
b.Tidak langsung →media massa
2. Menurut meode penyampaian :
a. Ketauladanan
b. Edukasi
c. Komunikasi
d. Integrasi
Sabtu, 10 April 2010
KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
PENGERTIAN KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
Kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang berintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan ancaman hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Untuk menjamin identitas, integritas kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya.
Konsepsi ketahanan nasional Indonesia adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang serasi dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh berlandaskan Pancasila, UUD 45 dan Wasantara.
Kesejahteraan = Kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya demi sebesar-besarnya kemakmuran yang adil dan merata rohani dan jasmani.
Keamanan = Kemampuan bangsa Indonesia melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam.
HAKEKAT KETAHANAN NASIONAL DAN KONSEPSI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Hakekat Ketahanan Nasional Indonesia = Keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup dan tujuan negara.
2. Hakekat Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia = Pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan nasional.
ASAS-ASAS KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Kesejahteraan dan keamanan
2. Komprehensif Integral (Menyeluruh Terpadu)
3. Mawas kedalam dan keluar
4. Kekeluargaan
SIFAT KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Mandiri = Percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri bertumpu pada identitas, integritas dan kepribadian. Kemandirian merupakan prasyarat menjalin kerjasama yang saling menguntungkan
2. Dinamis = Berubah tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta kondisi lingkungan strategis.
3. Wibawa = Pembinaan ketahanan nasional yang berhasil akan meningkatkan kemampuan bangsa dan menjadi faktor yang diperhatikan pihak lain.
4. Konsultasi dan Kerjasama = Sikap konsultatif dan kerjasama serta saling menghargai dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa.
PENGARUH ASPEK KETAHANAN NASIONAL PADA KEHIDUPAN BERNEGARA
Ketahanan nasional merupakan gambaran dari kondisi sistem (tata) kehidupan nasional dalam berbagai aspek pada saat tertentu. Tiap-tiap aspek relatif berubah menurut waktu, ruang dan lingkungan terutama pada aspek-aspek dinamis sehingga interaksinya menciptakan kondisi umum yang sulit dipantau karena sangan komplek.
Konsepsi ketahanan nasional akan menyangkut hubungan antar aspek yang mendukung kehidupan, yaitu:
1.Aspek alamiah (Statis)
a. Geografi b. Kependudukan c. Sumber kekayaan alam
2.Aspek sosial (Dinamis)
a. Ideologi
b. Politik
c. Ekonomi
d. Sosial budaya
e. Ketahanan keamanan
PENGERTIAN KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
Kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang berintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan ancaman hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Untuk menjamin identitas, integritas kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya.
Konsepsi ketahanan nasional Indonesia adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang serasi dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh berlandaskan Pancasila, UUD 45 dan Wasantara.
Kesejahteraan = Kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya demi sebesar-besarnya kemakmuran yang adil dan merata rohani dan jasmani.
Keamanan = Kemampuan bangsa Indonesia melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam.
HAKEKAT KETAHANAN NASIONAL DAN KONSEPSI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Hakekat Ketahanan Nasional Indonesia = Keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup dan tujuan negara.
2. Hakekat Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia = Pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan nasional.
ASAS-ASAS KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Kesejahteraan dan keamanan
2. Komprehensif Integral (Menyeluruh Terpadu)
3. Mawas kedalam dan keluar
4. Kekeluargaan
SIFAT KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1. Mandiri = Percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri bertumpu pada identitas, integritas dan kepribadian. Kemandirian merupakan prasyarat menjalin kerjasama yang saling menguntungkan
2. Dinamis = Berubah tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta kondisi lingkungan strategis.
3. Wibawa = Pembinaan ketahanan nasional yang berhasil akan meningkatkan kemampuan bangsa dan menjadi faktor yang diperhatikan pihak lain.
4. Konsultasi dan Kerjasama = Sikap konsultatif dan kerjasama serta saling menghargai dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa.
PENGARUH ASPEK KETAHANAN NASIONAL PADA KEHIDUPAN BERNEGARA
Ketahanan nasional merupakan gambaran dari kondisi sistem (tata) kehidupan nasional dalam berbagai aspek pada saat tertentu. Tiap-tiap aspek relatif berubah menurut waktu, ruang dan lingkungan terutama pada aspek-aspek dinamis sehingga interaksinya menciptakan kondisi umum yang sulit dipantau karena sangan komplek.
Konsepsi ketahanan nasional akan menyangkut hubungan antar aspek yang mendukung kehidupan, yaitu:
1.Aspek alamiah (Statis)
a. Geografi b. Kependudukan c. Sumber kekayaan alam
2.Aspek sosial (Dinamis)
a. Ideologi
b. Politik
c. Ekonomi
d. Sosial budaya
e. Ketahanan keamanan
Minggu, 04 April 2010
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN NEGARA INDONESIA
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN NEGARA INDONESIA
1.Pengertian Ideologi
Istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita dan “ logos” berarti ilmu.
Pengertian Ideologi:
v Kamus Bahasa Indonesia ,319
Ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Atau cara berfikir seseorang atau suatu gagasan.
v Destutt de Tray ( 1801-orang yang pertama mengemukakan ideologi )
Ideologi adalah ilmu yang tentang gagasan yang menunjukan jalan yang benar menuju masa depan.
v Moerdiono
Ideology adalah kompleks pengetahuan dan nilai, yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seorang ( masyarakat ) untuk memahami jagad raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengelolanya.
v Alfian
Ideology adalah suatu padangan atau system nilai yang menyeluruh dan mendalam tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil.
v Destutt de Tray
Ideology adalah untuk menujuk suatu ilmu, yaitu analsisis ilmiah dari pikiran manusia.
v Napoleon
Ideology adalah kumpulan ide ( pendapat ) yang abstrak ( tidak realities).
v Karl Mark
Ideology adalah dalam arti khusus, yaitu ideology digolongkan bersama dengan agama, filsafat, dan moral.
v Laboratorium IKIP Malang
Ideology adalah seperangkat ide, nilai, dan cita-cita beserta pedoman dan metode melaksanakan atau mewujudkan.
Pengertian ideologi secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan gagasan, idea, keyakinan, kepercayaan, yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut:
a. Bidang Politik (termasuk Pertahanan dan Keamanan)
b. Bidang Sosial
c. Bidang Kebudayaan
d.Bidang Keagamaan
2. Ideologi Terbuka
Ideologi terbuka merupakan suatu pemikiran terbuka. Ideologi terbuka merupakan perkembangan terbaru dalam pemikiran konseptual mengenai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tetapi juga karena pemahaman yang tepat terhadap implikasi ideologi terbuka itu amat penting dalam menjawab perkembangan masyarakat, IPTEK dimasa sekarang dan mendatang.
Ciri-ciri Ideologi Terbuka :
Bahwa isinya tidak operasional.
Bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak di paksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari harta kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat itu sendiri.
Senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan aspirasi pemikiran serta akselerasi dalam masyarakat, dalam mwujudkan cita-citanya untuk hidup berbangsa, dalam mencapai harkat dan manfaat kemanusiaan.
3. Ideologi Tertutup
Ideologi tertutup merupakan suatu pemikiran tertutup.
Ciri-ciri Ideologi Tertutup :
Bersifat totaliter, artinya mencakup atau mengurusi semua bidang kehidupan.
Cita-cita sebuah kelompok yang digunakan sebagai dasar untuk mengubah masyarakat.
Pluralisme padangan dan kebudayaan di tiadakan.
4. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia yang tak lain adalah ideologi terbuka. Pancasila sebagai ideologi terbuka artinya nilai-nilai dasar Pancasila bersifat tetap, namun dapat dijabarkan menajdi nilai instrumental yang berubah dan berkembang secara dinamis dan kreatif sesuai dengan kebutuhan perkembangan masyarakat Indonesia .
Tatanan nilai mempunyai tiga tingkatan ( fleksibelitas ideology pancasila mengandung nilai-nilai sebagai berikut :
a. Nilai Dasar
b. Nilai Instrumental
c. Nilai Praktis
Menurut Alfian, kekutan suatu ideology tergantung pada 3 dimensi yang terkandung di dalamnya yaitu sebagai berikut :
a. Dimensi Realitas
b. Dimensi idealis
c. Dimensi fleksibel
1.Pengertian Ideologi
Istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita dan “ logos” berarti ilmu.
Pengertian Ideologi:
v Kamus Bahasa Indonesia ,319
Ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Atau cara berfikir seseorang atau suatu gagasan.
v Destutt de Tray ( 1801-orang yang pertama mengemukakan ideologi )
Ideologi adalah ilmu yang tentang gagasan yang menunjukan jalan yang benar menuju masa depan.
v Moerdiono
Ideology adalah kompleks pengetahuan dan nilai, yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seorang ( masyarakat ) untuk memahami jagad raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengelolanya.
v Alfian
Ideology adalah suatu padangan atau system nilai yang menyeluruh dan mendalam tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil.
v Destutt de Tray
Ideology adalah untuk menujuk suatu ilmu, yaitu analsisis ilmiah dari pikiran manusia.
v Napoleon
Ideology adalah kumpulan ide ( pendapat ) yang abstrak ( tidak realities).
v Karl Mark
Ideology adalah dalam arti khusus, yaitu ideology digolongkan bersama dengan agama, filsafat, dan moral.
v Laboratorium IKIP Malang
Ideology adalah seperangkat ide, nilai, dan cita-cita beserta pedoman dan metode melaksanakan atau mewujudkan.
Pengertian ideologi secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan gagasan, idea, keyakinan, kepercayaan, yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut:
a. Bidang Politik (termasuk Pertahanan dan Keamanan)
b. Bidang Sosial
c. Bidang Kebudayaan
d.Bidang Keagamaan
2. Ideologi Terbuka
Ideologi terbuka merupakan suatu pemikiran terbuka. Ideologi terbuka merupakan perkembangan terbaru dalam pemikiran konseptual mengenai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tetapi juga karena pemahaman yang tepat terhadap implikasi ideologi terbuka itu amat penting dalam menjawab perkembangan masyarakat, IPTEK dimasa sekarang dan mendatang.
Ciri-ciri Ideologi Terbuka :
Bahwa isinya tidak operasional.
Bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak di paksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari harta kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat itu sendiri.
Senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan aspirasi pemikiran serta akselerasi dalam masyarakat, dalam mwujudkan cita-citanya untuk hidup berbangsa, dalam mencapai harkat dan manfaat kemanusiaan.
3. Ideologi Tertutup
Ideologi tertutup merupakan suatu pemikiran tertutup.
Ciri-ciri Ideologi Tertutup :
Bersifat totaliter, artinya mencakup atau mengurusi semua bidang kehidupan.
Cita-cita sebuah kelompok yang digunakan sebagai dasar untuk mengubah masyarakat.
Pluralisme padangan dan kebudayaan di tiadakan.
4. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia yang tak lain adalah ideologi terbuka. Pancasila sebagai ideologi terbuka artinya nilai-nilai dasar Pancasila bersifat tetap, namun dapat dijabarkan menajdi nilai instrumental yang berubah dan berkembang secara dinamis dan kreatif sesuai dengan kebutuhan perkembangan masyarakat Indonesia .
Tatanan nilai mempunyai tiga tingkatan ( fleksibelitas ideology pancasila mengandung nilai-nilai sebagai berikut :
a. Nilai Dasar
b. Nilai Instrumental
c. Nilai Praktis
Menurut Alfian, kekutan suatu ideology tergantung pada 3 dimensi yang terkandung di dalamnya yaitu sebagai berikut :
a. Dimensi Realitas
b. Dimensi idealis
c. Dimensi fleksibel
Jumat, 02 April 2010
MEMBONGKAR MAKLAR KASUS
MEMBONGKAR MAKLAR KASUS
Susno Yakin Bos-Bos Pajak Terlibat Kasus Gayus
Susno Duadji (Foto: Koran SI)
Kombes Pol Susno Duadji menegaskan Gayus Tambunan bukanlah pengambil keputusan tertinggi makelar pajak di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.
“Decision maker bukan pada Gayus. Decision itu orang kedua dari atas,” ungkap Susno dalam konferensi pers di Doekoen Coeffe, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (1/4/2010).
Sayangnya, Susno tidak mau menyebutkan siapa orang yang dimaksud. “Perlu dibuka namanya. Tetapi nanti saya kena kode etik lagi,” kilahnya.
Menurut jenderal bintang tiga ini, Gayus sebenarnya belum sampai dikatagorikan markus karena belum sampai ke level sutradara.
“Karena sutrodoro itu adalah orang yang menghubungkan pemeriksa, kepala unit (kanit), wakil direktur, jaksa peneliti, jaksa penuntut umum, Andi Kosasih, Gayus. Laporan tidak sampai ke Kabareskrim,” jelasnya.
Saat ditanya mengenai pemeriksaan Gayus, Susno enggan berkomentar. Dia menganggap statusnya sudah menjadi tersangka, sehingga sudah tidak bebas lagi berbicara ke publik. Mabes Polri menjadikan Susno tersangka dalam kasus pencemaran nama baik. Susno menuding ada petinggi Polri yang terlibat dalam kasus penggelapan pajak yang juga melibatkan Gayus.
“Saya enggak mau komentar dulu. Status saya sekarang tersangka. Saya tidak bisa ngomong banyak. Nanti habis absent (ke Mabes) enggak bisa pulang lagi,” katanya sambil masuk ke mobil Nissan Serena hitamnya.
Berikut Aliran Dana Rp28 Miliar Milik Gayus
Gayus Tambunan
Aliran dana sebesar Rp28 miliar yang diduga hasil penggelapan dana pajak oleh Gayus Tambunan, satu persatu mulai terbongkar. Polisi mengaku sudah mengetahui aliran dana tersebut hingga level ketiga. Kemana saja alirannya?
Seperti diungkapkan penasehat Kapolri, Kastorius Sinaga di Mabes Polri, Jakarta, dana tersebut menyebar ke sejumlah orang, di antaranyan Andi Kosasih, sejumlah perusahaan, dan kerabat Gayus.
Berikut aliran dana tersebut, seperti diungkap Katorius kepada wartawan, Kamis (1/4/2010):
“Level pertama induknya Rp28 miliar. Level kedua dipecah kepada lima pemecahan yakni Rp10 miliar di rekening Gayus. Oleh Gayus ditarik tunai 4 kali sebesar Rp6,2 miliar ke rekning isterinya, ke SA yang ditansfer ke tiga perusahaan yaitu PT PKP, PT ATS, dan PT ETS,” paparnya.
“Disamping mengalir ke tiga perusahaan dari rekening SA, Gayus juga menstransfer ke rekening Andi Kosasih sebesar Rp1,9 miliar. Dan turunannya ke isterinya Kosasih sendiri sebesar Rp1,2 miliar. lalu sesorang berinisial Y,” paparnya.
Sayangnya, Kastorius enggan membeberkan siapa orang yang memiliki inisial Y itu. “Ini sedang kita selidiki apa hubungannya dengan AK, GHT, dan apa hubungannya dengan yang lain-lain,” tegasnya.(kem)(mbs)
Dana Pajak Gayus Mengalir ke 3 Perusahaan
Gayus Tambunan
Selain istri Gayus Holomaon Tambunan, Milana Anggraeini ternyata ada aliran dana lain yang mengalir dari rekening senilai Rp24,6 M. Orang yang menerima aliran dana ini masih memiliki hubungan saudara dengan Gayus.
“Yang sudah terdeteksi adalah yang disebut inisial SA. SA ini masih berhubungan family dengan gayus, di mana suami SA adalah kakak atau adik Gayus,” ujar penasehat Kapolri, Kastorius Sinaga di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (1/4/2010).
Dia menambahkan, jumlah dana yang mengalir ke SA senilai Rp12,3 miliar. Kemudian dana tersebut dialirkan ke tiga perusahan.
“Dengan inisial PT PKP, PT ATS, dan PT ETS. Di PT PKP yang masuk
4 kali sekira Rp9,3 miliar dari 12,5 miliar,” sambungnya.
“Lalu PT ETS yang online trading, sudah kita klarifikasi sekira Rp2 miliar, dan sisanya ke PT APS. Saat ini semuanya sudah diblokir oleh Kepolisian dalam rangka penyidikan terhadap aliran dana Gayus,” lanjutnya.
Susno Yakin Bos-Bos Pajak Terlibat Kasus Gayus
Susno Duadji (Foto: Koran SI)
Kombes Pol Susno Duadji menegaskan Gayus Tambunan bukanlah pengambil keputusan tertinggi makelar pajak di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.
“Decision maker bukan pada Gayus. Decision itu orang kedua dari atas,” ungkap Susno dalam konferensi pers di Doekoen Coeffe, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (1/4/2010).
Sayangnya, Susno tidak mau menyebutkan siapa orang yang dimaksud. “Perlu dibuka namanya. Tetapi nanti saya kena kode etik lagi,” kilahnya.
Menurut jenderal bintang tiga ini, Gayus sebenarnya belum sampai dikatagorikan markus karena belum sampai ke level sutradara.
“Karena sutrodoro itu adalah orang yang menghubungkan pemeriksa, kepala unit (kanit), wakil direktur, jaksa peneliti, jaksa penuntut umum, Andi Kosasih, Gayus. Laporan tidak sampai ke Kabareskrim,” jelasnya.
Saat ditanya mengenai pemeriksaan Gayus, Susno enggan berkomentar. Dia menganggap statusnya sudah menjadi tersangka, sehingga sudah tidak bebas lagi berbicara ke publik. Mabes Polri menjadikan Susno tersangka dalam kasus pencemaran nama baik. Susno menuding ada petinggi Polri yang terlibat dalam kasus penggelapan pajak yang juga melibatkan Gayus.
“Saya enggak mau komentar dulu. Status saya sekarang tersangka. Saya tidak bisa ngomong banyak. Nanti habis absent (ke Mabes) enggak bisa pulang lagi,” katanya sambil masuk ke mobil Nissan Serena hitamnya.
Berikut Aliran Dana Rp28 Miliar Milik Gayus
Gayus Tambunan
Aliran dana sebesar Rp28 miliar yang diduga hasil penggelapan dana pajak oleh Gayus Tambunan, satu persatu mulai terbongkar. Polisi mengaku sudah mengetahui aliran dana tersebut hingga level ketiga. Kemana saja alirannya?
Seperti diungkapkan penasehat Kapolri, Kastorius Sinaga di Mabes Polri, Jakarta, dana tersebut menyebar ke sejumlah orang, di antaranyan Andi Kosasih, sejumlah perusahaan, dan kerabat Gayus.
Berikut aliran dana tersebut, seperti diungkap Katorius kepada wartawan, Kamis (1/4/2010):
“Level pertama induknya Rp28 miliar. Level kedua dipecah kepada lima pemecahan yakni Rp10 miliar di rekening Gayus. Oleh Gayus ditarik tunai 4 kali sebesar Rp6,2 miliar ke rekning isterinya, ke SA yang ditansfer ke tiga perusahaan yaitu PT PKP, PT ATS, dan PT ETS,” paparnya.
“Disamping mengalir ke tiga perusahaan dari rekening SA, Gayus juga menstransfer ke rekening Andi Kosasih sebesar Rp1,9 miliar. Dan turunannya ke isterinya Kosasih sendiri sebesar Rp1,2 miliar. lalu sesorang berinisial Y,” paparnya.
Sayangnya, Kastorius enggan membeberkan siapa orang yang memiliki inisial Y itu. “Ini sedang kita selidiki apa hubungannya dengan AK, GHT, dan apa hubungannya dengan yang lain-lain,” tegasnya.(kem)(mbs)
Dana Pajak Gayus Mengalir ke 3 Perusahaan
Gayus Tambunan
Selain istri Gayus Holomaon Tambunan, Milana Anggraeini ternyata ada aliran dana lain yang mengalir dari rekening senilai Rp24,6 M. Orang yang menerima aliran dana ini masih memiliki hubungan saudara dengan Gayus.
“Yang sudah terdeteksi adalah yang disebut inisial SA. SA ini masih berhubungan family dengan gayus, di mana suami SA adalah kakak atau adik Gayus,” ujar penasehat Kapolri, Kastorius Sinaga di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (1/4/2010).
Dia menambahkan, jumlah dana yang mengalir ke SA senilai Rp12,3 miliar. Kemudian dana tersebut dialirkan ke tiga perusahan.
“Dengan inisial PT PKP, PT ATS, dan PT ETS. Di PT PKP yang masuk
4 kali sekira Rp9,3 miliar dari 12,5 miliar,” sambungnya.
“Lalu PT ETS yang online trading, sudah kita klarifikasi sekira Rp2 miliar, dan sisanya ke PT APS. Saat ini semuanya sudah diblokir oleh Kepolisian dalam rangka penyidikan terhadap aliran dana Gayus,” lanjutnya.
Kamis, 01 April 2010
KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Kewarganegaraan
Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (citizenship). Di dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (nationality). Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara.
kewarganegaraan Indonesia
Kewarganegaraan Republik Indonesia
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia . Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia . Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah
1.setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
4.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
5.anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6.anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7.anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
8.anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9.anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah megara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
10.anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11.anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
12.anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
1.anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2.anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3.anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4.anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
1.Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia , yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2.Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.
KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1].
WARGANEGARA DAN KEWARGANEGARAAN
Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.
Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia .
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan. Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja. Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena kelahiran atau ‘citizenship by birth’, (ii) kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau ‘citizenship by naturalization’, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau ‘citizenship by registration’. Ketiga cara ini seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja sebagaimana lazim dipahami selama ini.
Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia. Keturunan mereka ini dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia.
Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa.
Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip ‘ius soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’ sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus ‘stateless’ tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.
Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali.
KEWARGANEGARAAN ORANG ‘CINA’ PERANAKAN
Orang-orang ‘Cina’ peranakan yang tinggal menetap turun temurun di Indonesia, sejak masa reformasi sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang ‘Cina’, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan ‘Cina’ dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Manado, Cina, dan lain sebagainya.
Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan ‘Tionghoa’ di tengah masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Akan tetapi, saya sendiri tidak begitu ‘sreg’ dengan sebutan ‘Tionghoa’ itu untuk dinisbatkan kepada kelompok masyarakat Indonesia keturunan ‘Cina’. Secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah ‘Tionghoa’ itu malah lebih ‘distingtif’ atau lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan ‘Cina’ dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi, pengertian dasar istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri terdengar lebih tinggi posisi dasarnya atau bahkan terlalu tinggi posisinya dalam berhadapan dengan kelompok masyarakat di luar keturunan ‘Cina’. ‘Tiongkok’ atau ‘Tionghoa’ itu sendiri mempunyai arti sebagai negara pusat yang di dalamnya terkandung pengertian memperlakukan negara-negara di luarnya sebagai negara pinggiran. Karena itu, penggantian istilah ‘Cina’ yang dianggap cenderung ‘merendahkan’ dengan perkataan ‘Tionghoa’ yang bernuansa kebanggaan bagi orang ‘Cina’ justru akan berdampak buruk, karena dapat menimbulkan dampak psikologi bandul jam yang bergerak ekstrim dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Di pihak lain, penggunaan istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri juga dapat direspons sebagai ‘kejumawaan’ dan mencerminkan arogansi cultural atau ‘superiority complex’ dari kalangan masyarakat ‘Cina’ peranakan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Anggapan mengenai adanya ‘superiority complex’ penduduk keturunan ‘Cina’ dipersubur pula oleh kenyataan masih diterapkannya sistem penggajian yang ‘double standard’ di kalangan perusahaan-perusahaan keturunan ‘Cina’ yang mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari etnis ‘Cina’. Karena itu, penggunaan kata ‘Tionghoa’ dapat pula memperkuat kecenderungan ekslusivisme yang menghambat upaya pembauran tersebut.
Oleh karena itu, mestinya, reformasi perlakuan terhadap masyarakat keturunan ‘Cina’ dan warga keturunan lainnya tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penggantian istilah semacam itu. Yang lebih penting untuk dikembangkan adalah pemberlakuan sistem hukum yang bersifat non-diskriminatif berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, diiringi dengan upaya penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, dan didukung pula oleh ketulusan semua pihak untuk secara sungguh-sungguh memperdekat jarak atau gap social, ekonomi dan politik yang terbuka lebar selama ini. Bahkan, jika mungkin, warga keturunanpun tidak perlu lagi menyebut dirinya dengan etnisitas yang tersendiri. Misalnya, siapa saja warga keturunan yang lahir di Bandung, cukup menyebut dirinya sebagai orang Bandung saja, atau lebih ideal lagi jika mereka dapat mengidentifikasikan diri sebagai orang Sunda, yang lahir di Madura sebut saja sebagai orang Madura. Orang-orang keturunan Arab yang lahir dan hidup di Pekalongan juga banyak yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Pekalongan saja, bukan Arab Pekalongan.
Proses pembauran itu secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya apabila medan pergaulan antar etnis makin luas dan terbuka. Wahana pergaulan itu perlu dikembangkan dengan cara asimiliasi, misalnya, melalui medium lembaga pendidikan, medium pemukiman, medium perkantoran, dan medium pergaulan social pada umumnya. Karena itu, di lingkungan-lingkungan pendidikan dan perkantoran tersebut jangan sampai hanya diisi oleh kalangan etnis yang sejenis. Lembaga lain yang juga efektif untuk menyelesaikan agenda pembauran alamiah ini adalah keluarga. Karena itu, perlu dikembangkan anjuran-anjuran dan dorongan-dorongan bagi berkembangnya praktek perkawinan campuran antar etnis, terutama yang melibatkan pihak etnis keturunan ‘Cina’ dengan etnis lainnya. Jika seandainya semua orang melakukan perkawinan bersilang etnis, maka dapat dipastikan bahwa setelah satu generasi atau setelah setengah abad, isu etnis ini dan apalagi isu rasial, akan hilang dengan sendirinya dari wacana kehidupan kita di persada nusantara ini.
PEMBARUAN UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN
Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan. Dalam hukum Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan bukan sebagai warganegara Indonesia.
Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara Republik Indonesia itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi warganegara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap sebagai warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi warganegara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami dalam konteks pengertian ‘Warga Negara Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hukum dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah menyandang status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini.
[1] Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia .
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Kewarganegaraan
Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (citizenship). Di dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (nationality). Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara.
kewarganegaraan Indonesia
Kewarganegaraan Republik Indonesia
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia . Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia . Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah
1.setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
4.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
5.anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6.anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7.anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
8.anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9.anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah megara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
10.anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11.anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
12.anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
1.anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2.anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3.anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4.anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
1.Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia , yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2.Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.
KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1].
WARGANEGARA DAN KEWARGANEGARAAN
Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.
Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia .
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan. Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja. Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena kelahiran atau ‘citizenship by birth’, (ii) kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau ‘citizenship by naturalization’, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau ‘citizenship by registration’. Ketiga cara ini seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja sebagaimana lazim dipahami selama ini.
Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia. Keturunan mereka ini dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia.
Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa.
Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip ‘ius soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’ sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus ‘stateless’ tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.
Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali.
KEWARGANEGARAAN ORANG ‘CINA’ PERANAKAN
Orang-orang ‘Cina’ peranakan yang tinggal menetap turun temurun di Indonesia, sejak masa reformasi sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang ‘Cina’, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan ‘Cina’ dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Manado, Cina, dan lain sebagainya.
Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan ‘Tionghoa’ di tengah masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Akan tetapi, saya sendiri tidak begitu ‘sreg’ dengan sebutan ‘Tionghoa’ itu untuk dinisbatkan kepada kelompok masyarakat Indonesia keturunan ‘Cina’. Secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah ‘Tionghoa’ itu malah lebih ‘distingtif’ atau lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan ‘Cina’ dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi, pengertian dasar istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri terdengar lebih tinggi posisi dasarnya atau bahkan terlalu tinggi posisinya dalam berhadapan dengan kelompok masyarakat di luar keturunan ‘Cina’. ‘Tiongkok’ atau ‘Tionghoa’ itu sendiri mempunyai arti sebagai negara pusat yang di dalamnya terkandung pengertian memperlakukan negara-negara di luarnya sebagai negara pinggiran. Karena itu, penggantian istilah ‘Cina’ yang dianggap cenderung ‘merendahkan’ dengan perkataan ‘Tionghoa’ yang bernuansa kebanggaan bagi orang ‘Cina’ justru akan berdampak buruk, karena dapat menimbulkan dampak psikologi bandul jam yang bergerak ekstrim dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Di pihak lain, penggunaan istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri juga dapat direspons sebagai ‘kejumawaan’ dan mencerminkan arogansi cultural atau ‘superiority complex’ dari kalangan masyarakat ‘Cina’ peranakan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Anggapan mengenai adanya ‘superiority complex’ penduduk keturunan ‘Cina’ dipersubur pula oleh kenyataan masih diterapkannya sistem penggajian yang ‘double standard’ di kalangan perusahaan-perusahaan keturunan ‘Cina’ yang mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari etnis ‘Cina’. Karena itu, penggunaan kata ‘Tionghoa’ dapat pula memperkuat kecenderungan ekslusivisme yang menghambat upaya pembauran tersebut.
Oleh karena itu, mestinya, reformasi perlakuan terhadap masyarakat keturunan ‘Cina’ dan warga keturunan lainnya tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penggantian istilah semacam itu. Yang lebih penting untuk dikembangkan adalah pemberlakuan sistem hukum yang bersifat non-diskriminatif berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, diiringi dengan upaya penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, dan didukung pula oleh ketulusan semua pihak untuk secara sungguh-sungguh memperdekat jarak atau gap social, ekonomi dan politik yang terbuka lebar selama ini. Bahkan, jika mungkin, warga keturunanpun tidak perlu lagi menyebut dirinya dengan etnisitas yang tersendiri. Misalnya, siapa saja warga keturunan yang lahir di Bandung, cukup menyebut dirinya sebagai orang Bandung saja, atau lebih ideal lagi jika mereka dapat mengidentifikasikan diri sebagai orang Sunda, yang lahir di Madura sebut saja sebagai orang Madura. Orang-orang keturunan Arab yang lahir dan hidup di Pekalongan juga banyak yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Pekalongan saja, bukan Arab Pekalongan.
Proses pembauran itu secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya apabila medan pergaulan antar etnis makin luas dan terbuka. Wahana pergaulan itu perlu dikembangkan dengan cara asimiliasi, misalnya, melalui medium lembaga pendidikan, medium pemukiman, medium perkantoran, dan medium pergaulan social pada umumnya. Karena itu, di lingkungan-lingkungan pendidikan dan perkantoran tersebut jangan sampai hanya diisi oleh kalangan etnis yang sejenis. Lembaga lain yang juga efektif untuk menyelesaikan agenda pembauran alamiah ini adalah keluarga. Karena itu, perlu dikembangkan anjuran-anjuran dan dorongan-dorongan bagi berkembangnya praktek perkawinan campuran antar etnis, terutama yang melibatkan pihak etnis keturunan ‘Cina’ dengan etnis lainnya. Jika seandainya semua orang melakukan perkawinan bersilang etnis, maka dapat dipastikan bahwa setelah satu generasi atau setelah setengah abad, isu etnis ini dan apalagi isu rasial, akan hilang dengan sendirinya dari wacana kehidupan kita di persada nusantara ini.
PEMBARUAN UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN
Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan. Dalam hukum Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan bukan sebagai warganegara Indonesia.
Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara Republik Indonesia itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi warganegara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap sebagai warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi warganegara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami dalam konteks pengertian ‘Warga Negara Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hukum dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah menyandang status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini.
[1] Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia .
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Kewarganegaraan
Senin, 08 Maret 2010
Mekanisme Impeachment& Hukum Acara Konstitusi
Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, gagasan Negara Hukum [1] merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak perspektif dan boleh dikatakan selalu aktual. Istilah Negara Hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah (Rechtsstaat). Dalam memberikan pengertian mengenai gagasan Negara Hukum ini,[2] setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan baik terhadap kata “negara” maupun kata “hukum”.[3] Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law.[4]
Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan topik Negara Hukum (Rechtsstaat) dalam tradisi Eropa Kontinental adalah Friedrich Julius Stahl. Pandangannya tentang Rechtsstaat merupakan perbaikan dari pandangan Immanuel Kant.[5] Unsur-unsur yang harus ada dalam Rechtsstaat[6] adalah pertama, pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten); kedua, pemisahan kekuasaan (scheiding van machten); ketiga, pemerintahan berdasar atas undang-undang (wetmatigheid van het bestuur); dan keempat, peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).[7] Sedangkan unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law[8] adalah pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di depan hukum (equality before the law); ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi manusia (constitution based on human rights).[9]
Syarat-syarat dasar bagi pemerintahan demokratis di bawah konsep Rule of Law adalah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;[10] ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat; kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan kewarganegaraan.[11] Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam Negara Hukum tradisi Rechtsstaat maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata lain, keberadaan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak menjadi syarat yang penting bagi kedua tradisi negara hukum tersebut.
Sementara itu, Franz Magnis-Suseno menyebut empat syarat dalam gagasan Negara Hukum yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu pertama, adanya asas legalitas yang berarti pemerintah bertindak semata-mata atas dasar hukum yang berlaku; kedua, adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan; ketiga, adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; dan keempat, adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau hukum dasar.[12]
1.↑ Padmo Wahjono dengan mengutip pernyataan Oemar Seno Adji dalam Indonesia Negara Hukum menyimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum terletak pada dua hal, yaitu (1) teori Rechtsstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan hak-hak asasi manusia, adanya Trias Politica, adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan adanya peradilan administratif; dan (2) teori Rule of Law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang bersumber pada hak-hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya. Padmo Wahjono,“Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan atas Hukum”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979
2.↑ Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga pengertian keduanya pada masa kini mempunyai beberapa perbedaan-perbedaan dengan pengertian keduanya pada masa lalu.Tentang hal ini lihat misalnya Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Cet. I, (Jakarta: Ind Hill-Co., 1997), hal. 4
3.↑ Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1985), hal.11
4.↑ Menurut Wolfgang Friedmann, gagasan Negara Hukum tidak selalu identik dengan Rule of Law. Sedangkan istilah Rechtsstaat mengandung pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Wolfgang Friedmann, Legal Theory, (London: Steven & Son Limited, 1960), hal. 456. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not of Man. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976), hal. 8
5.↑ Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1989), hal. 30
6.↑ Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori oleh Immanuel Kant yang mengidealkan paham laissez faire laissez aller dan gagasan negara jaga malam (nachwachtersstaat). Dalam gagasan ini setiap warga negara dibiarkan menyelenggarakan sendiri usaha-usaha kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga pada malam hari yang melindungi seluruh rakyat agar tetap merasa aman dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie,Agenda Pembangunan Hukum Nasioanal di Abad Globalisasi, Cet. I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 90.Tentang wawasanwawasan yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S.Attamimi,“Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai Analisis Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi doktor, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990), hal. 139
7.↑ Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, (Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973), hal. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism:Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974), hal. 146
8.↑ Menurut Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang Rule of Law ini. Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”,dalam Columbia Law Review, Volume 97, No.1,1997,hal.1-2
9.↑ A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition, (London: English Language Book Society and MacMillan, 1971), hal. 223-224
10.↑ Menurut A.W. Bradley, pengadilan mempunyai peran penting dalam tradisi Rule of Law, karena penafsiran-penafsirannya terhadap peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan bagi keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu negara.A.W. Bradley,“The Sovereignty of Parliament – Form or Substance?”, dalam Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution, 4thedition, (Oxford: Oxford University Press, 2000), hal. 34
11.↑ South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, (Bangkok: International Commission of Jurist, 1965), hal. 39-45
12.↑ Franz Magnis-Suseno memberikan catatan khusus berkaitan dengan ciri adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. Menurutnya, dengan adanya asas kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan negara lainnya, maka diharapkan badan yudikatif dapat melakukan kontrol segi hukum terhadap kekuasaan negara di samping untuk mencegah dan mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dari pengaruh kekuasaan pemerintah akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak-hak asasi manusia oleh penguasa, karena kekuasaan kehakiman yang secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsinya tersebut. Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1993), hal. 298-301. Sementara itu, menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, ciri-ciri negara hukum ada tiga, yaitu (1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; (2) peradilan yang bebas; (3) legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Cet. VI,(Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 27; lihat juga Dahlan Thaib, Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, Edisi Revisi, Cet. I, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1994), hal. 87
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikisource.org/wiki/Mekanisme_Impeachment_&_Hukum_Acara_Mahkamah_Konstitusi/BAB_I_PENDAHULUAN/Kerangka_Teori/Negara_Hukum
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, gagasan Negara Hukum [1] merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak perspektif dan boleh dikatakan selalu aktual. Istilah Negara Hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah (Rechtsstaat). Dalam memberikan pengertian mengenai gagasan Negara Hukum ini,[2] setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan baik terhadap kata “negara” maupun kata “hukum”.[3] Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law.[4]
Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan topik Negara Hukum (Rechtsstaat) dalam tradisi Eropa Kontinental adalah Friedrich Julius Stahl. Pandangannya tentang Rechtsstaat merupakan perbaikan dari pandangan Immanuel Kant.[5] Unsur-unsur yang harus ada dalam Rechtsstaat[6] adalah pertama, pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten); kedua, pemisahan kekuasaan (scheiding van machten); ketiga, pemerintahan berdasar atas undang-undang (wetmatigheid van het bestuur); dan keempat, peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).[7] Sedangkan unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law[8] adalah pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di depan hukum (equality before the law); ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi manusia (constitution based on human rights).[9]
Syarat-syarat dasar bagi pemerintahan demokratis di bawah konsep Rule of Law adalah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;[10] ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat; kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan kewarganegaraan.[11] Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam Negara Hukum tradisi Rechtsstaat maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata lain, keberadaan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak menjadi syarat yang penting bagi kedua tradisi negara hukum tersebut.
Sementara itu, Franz Magnis-Suseno menyebut empat syarat dalam gagasan Negara Hukum yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu pertama, adanya asas legalitas yang berarti pemerintah bertindak semata-mata atas dasar hukum yang berlaku; kedua, adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan; ketiga, adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; dan keempat, adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau hukum dasar.[12]
1.↑ Padmo Wahjono dengan mengutip pernyataan Oemar Seno Adji dalam Indonesia Negara Hukum menyimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum terletak pada dua hal, yaitu (1) teori Rechtsstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan hak-hak asasi manusia, adanya Trias Politica, adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan adanya peradilan administratif; dan (2) teori Rule of Law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang bersumber pada hak-hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya. Padmo Wahjono,“Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan atas Hukum”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979
2.↑ Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga pengertian keduanya pada masa kini mempunyai beberapa perbedaan-perbedaan dengan pengertian keduanya pada masa lalu.Tentang hal ini lihat misalnya Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Cet. I, (Jakarta: Ind Hill-Co., 1997), hal. 4
3.↑ Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1985), hal.11
4.↑ Menurut Wolfgang Friedmann, gagasan Negara Hukum tidak selalu identik dengan Rule of Law. Sedangkan istilah Rechtsstaat mengandung pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Wolfgang Friedmann, Legal Theory, (London: Steven & Son Limited, 1960), hal. 456. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not of Man. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976), hal. 8
5.↑ Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1989), hal. 30
6.↑ Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori oleh Immanuel Kant yang mengidealkan paham laissez faire laissez aller dan gagasan negara jaga malam (nachwachtersstaat). Dalam gagasan ini setiap warga negara dibiarkan menyelenggarakan sendiri usaha-usaha kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga pada malam hari yang melindungi seluruh rakyat agar tetap merasa aman dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie,Agenda Pembangunan Hukum Nasioanal di Abad Globalisasi, Cet. I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 90.Tentang wawasanwawasan yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S.Attamimi,“Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai Analisis Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi doktor, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990), hal. 139
7.↑ Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, (Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973), hal. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism:Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974), hal. 146
8.↑ Menurut Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang Rule of Law ini. Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”,dalam Columbia Law Review, Volume 97, No.1,1997,hal.1-2
9.↑ A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition, (London: English Language Book Society and MacMillan, 1971), hal. 223-224
10.↑ Menurut A.W. Bradley, pengadilan mempunyai peran penting dalam tradisi Rule of Law, karena penafsiran-penafsirannya terhadap peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan bagi keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu negara.A.W. Bradley,“The Sovereignty of Parliament – Form or Substance?”, dalam Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution, 4thedition, (Oxford: Oxford University Press, 2000), hal. 34
11.↑ South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, (Bangkok: International Commission of Jurist, 1965), hal. 39-45
12.↑ Franz Magnis-Suseno memberikan catatan khusus berkaitan dengan ciri adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. Menurutnya, dengan adanya asas kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan negara lainnya, maka diharapkan badan yudikatif dapat melakukan kontrol segi hukum terhadap kekuasaan negara di samping untuk mencegah dan mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dari pengaruh kekuasaan pemerintah akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak-hak asasi manusia oleh penguasa, karena kekuasaan kehakiman yang secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsinya tersebut. Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1993), hal. 298-301. Sementara itu, menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, ciri-ciri negara hukum ada tiga, yaitu (1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; (2) peradilan yang bebas; (3) legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Cet. VI,(Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 27; lihat juga Dahlan Thaib, Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, Edisi Revisi, Cet. I, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1994), hal. 87
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikisource.org/wiki/Mekanisme_Impeachment_&_Hukum_Acara_Mahkamah_Konstitusi/BAB_I_PENDAHULUAN/Kerangka_Teori/Negara_Hukum
Rabu, 03 Maret 2010
IDENTITAS NASIONAL
IDENTITAS NASIONAL
A.Pengertian Identitas Nasional
Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan. Secara etimologis , identitas nasional berasal dari kata “identitas” dan “ nasional”. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Kata “nasional” merujuk pada konsep kebangsaan. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identiti yang memiliki pengerian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Jadi, pegertian Identitas Nsaional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku di Indonesia, dalam arti lain juga sebagai Dasar Negara yang merupakan norma peraturan yang harus dijnjung tinggi oleh semua warga Negara tanpa kecuali “rule of law”, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban warga Negara, demokrasi serta hak asasi manusia yang berkembang semakin dinamis di Indonesia.
Identitas Nasional Indonesia :
1. Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia
2. Bendera negara yaitu Sang Merah Putih
3. Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya
4. Lambang Negara yaitu Pancasila
5. Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika
6. Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila
7. Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945
8. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
9. Konsepsi Wawasan Nusantara
10. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai Kebudayaan Nasional
B.Unsur-unsur Identitas Nasional
Unsur-unsur pembentuk identitas yaitu:
1. Suku bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang 300 dialeg bangsa.
2. Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yan tumbuh dan berkembang di nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong H Cu pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama resmi negara. Namun sejak pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.
3. Kebudayaan: adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagi rujukan dan pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
4. Bahasa: merupakan unsure pendukung Identitas Nasonal yang lain. Bahsa dipahami sebagai system perlambang yang secara arbiter dientuk atas unsure-unsur ucapan manusia dan yang digunakan sebgai sarana berinteraksi antar manusia.
Dari unsur-unsur Identitas Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut :
· Identitas Fundamental, yaitu pancasila merupakan falsafah bangsa, Dasar Negara, dan Ideologi Negara
· Identitas Instrumental yang berisi UUD 1945 dan tata perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”.
· Identitas Alamiah, yang meliputi Negara kepulauan (Archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya, dan agama, sertakepercayaan.
Menurut sumber lain ( http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html) disebutkan bahwa:
Satu jati diri dengan dua identitas:
1. Identitas Primordial
· Orang dengan berbagai latar belakang etnik dan budaya: jawab, batak, dayak, bugis, bali, timo, maluku, dsb.
· Orang dengan berbagai latar belakang agama: Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan sebagainya.
2. Identitas Nasional
· Suatu konsep kebangsaan yang tidak pernah ada padanan sebelumnya.
· Perlu diruuskan oleh suku-suku tersebut. Istilah Identitas Nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi yang sangat kuat terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalist Revolution, era globalisasi dewasa ini, ideology kapitalisme yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, social, politik dan kebudayaan. Perubahan global ini menurut Fakuyama membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular kearah ideology universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalismelah yang akan menguasainya. Dalam kondisi seperti ini, negara nasional akan dikuasai oleh negara transnasional yang lazimnya didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme. Konsekuensinya, negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian, dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, cirri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi Challence dan response. Jika Challence cukup besar sementara response kecil maka bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangfsa Indian di Amerika. Namun demikian jika Challance kecil sementara response besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
C.Faktor-Faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional
1.Faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi:
· Faktor Objektif, yang meliputi faktor geografis-ekologis dan demografis
· Faktor Subjektif, yaitu faktor historis, social, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia (Suryo, 2002)
2. Menurut Robert de Ventos, dikutip Manuel Castelles dalam bukunya “The Power of Identity” (Suryo, 2002), munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis ada 4 faktor penting, yaitu:
· Faktor primer, mencakup etnisitas, territorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya.
· Faktor pendorong, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembanguanan lainnya dalam kehidupan bernegara.
· Faktor penarik, mencakup modifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional
· Faktor reaktif, pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain.
Faktor pembentukan Identitas Bersama. Proses pembentukan bangsa- negara membutuhkan identitas-identitas untuk menyataukan masyarakat bangsa yang bersangkutan. Faktor-faktor yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa, yaitu :
· Primordial
· Sakral
· Tokoh
· Bhinneka Tunggal Ika
· Sejarah
· Perkembangan Ekonomi
· Kelembagaan
Faktor-faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia sebagai berikut
1. Adanya persamaan nasib , yaitu penderitaan bersama dibawah penjajahan bangsa asing lebih kurang selama 350 tahun
2. Adanya keinginan bersama untuk merdeka , melepaskan diri dari belenggu penjajahan
3. Adanya kesatuan tempat tinggal , yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke
4. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa
Cita- Cita, Tujuan dan Visi Negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bercita-cita mewujudkan negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan rumusan singkat, negara Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini sesuai dengan amanat dalam Alenia II Pembukaan UUD 1945 yaitu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Tujuan Negara Indonesia selanjutnya terjabar dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945. Secara rinci sbagai berikut :
1. Melindungi seganap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan Kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi, dan keadilan sosial
Adapun visi bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai , demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa dan berahklak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, mengausai ilmu pengetahuandan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Setelah tidak adanya GBHN makan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka mengenah (RPJM) Nasional 2004-2009, disebutkan bahwa Visi pembangunan nasional adalah :
1. Terwujudnya kehidupan masyarakat , bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.
2. Terwujudnya masyarakat , bangsa dan negara yang menjujung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia.
3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan
D.Pancasila Sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat internasional, memilki sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa Indonesia berkembang menujufase nasionalisme modern, diletakanlan prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu asas dalam filsafat hidup berbangsa dan bernagara. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri bangsa yang diangkat dari filsafat hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat Negara yaitu Pancasila. Jadi, filsafat suatu bangsa dan Negara berakar pada pandangan hidup yang bersumber pada kepribadiannya sendiri. Dapat pula dikatakan pula bahwa pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan Negara Indonesia pada hakikatnya bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi, filsafat pancasila itu bukan muncul secara tiba-tiba dan dipaksakan suatu rezim atau penguasa melainkan melalui suatu historis yang cukup panjang. Sejarah budaya bangsa sebagai akar Identitas Nasional. Menurut sumber lain (http://unisosdem.org.kliping_detail.php/?aid=7329&coid=1&caid=52) Disebutkan bahwa: kegagalan dalam menjalankan dan medistribusikan output berbagia agenda pembangnan nasional secaralebih adil akan berdampak negatif pada persatuan dan kesatuan bangsa. Pada titik inilah semangat Nasionalisme akan menjadi slah satu elemen utama dalam memperkuat eksistensi Negara/Bangsa. Study Robert I Rotberg secara eksplisit mengidentifikasikan salah satu karakteristik penting Negara gagal (failed states) adalah ketidakmampuan negara mengelola identitas Negara yang tercermin dalam semangat nasionalisme dalam menyelesaikan berbagai persoalan nasionalnya. Ketidakmampuan ini dapat memicu intra dan interstatewar secara hamper bersamaan. Penataan, pengelolaan, bahkan pengembangan nasionalisme dalam identitas nasional, dengan demikian akan menjadi prasyarat utama bagi upaya menciptakan sebuah Negara kuat (strong state). Fenomena globalisasi dengan berbagai macam aspeknya seakan telah meluluhkan batas-batas tradisional antarnegara, menghapus jarak fisik antar negara bahkan nasionalisme sebuah negara. Alhasil, konflik komunal menjadi fenomena umum yang terjadi diberbagai belahan dunia, khususnya negara-negara berkembang. Konflik-konflik serupa juga melanda Indonesia. Dalam konteks Indonesia, konflik-konflik ini kian diperuncing.
DAFTAR PUSTAKA
( http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html)
(http://unisosdem.org.kliping_detail.php/?aid=7329&coid=1&caid=52)
A.Pengertian Identitas Nasional
Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan. Secara etimologis , identitas nasional berasal dari kata “identitas” dan “ nasional”. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Kata “nasional” merujuk pada konsep kebangsaan. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identiti yang memiliki pengerian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Jadi, pegertian Identitas Nsaional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku di Indonesia, dalam arti lain juga sebagai Dasar Negara yang merupakan norma peraturan yang harus dijnjung tinggi oleh semua warga Negara tanpa kecuali “rule of law”, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban warga Negara, demokrasi serta hak asasi manusia yang berkembang semakin dinamis di Indonesia.
Identitas Nasional Indonesia :
1. Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia
2. Bendera negara yaitu Sang Merah Putih
3. Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya
4. Lambang Negara yaitu Pancasila
5. Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika
6. Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila
7. Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945
8. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
9. Konsepsi Wawasan Nusantara
10. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai Kebudayaan Nasional
B.Unsur-unsur Identitas Nasional
Unsur-unsur pembentuk identitas yaitu:
1. Suku bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang 300 dialeg bangsa.
2. Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yan tumbuh dan berkembang di nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong H Cu pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama resmi negara. Namun sejak pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.
3. Kebudayaan: adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagi rujukan dan pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
4. Bahasa: merupakan unsure pendukung Identitas Nasonal yang lain. Bahsa dipahami sebagai system perlambang yang secara arbiter dientuk atas unsure-unsur ucapan manusia dan yang digunakan sebgai sarana berinteraksi antar manusia.
Dari unsur-unsur Identitas Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut :
· Identitas Fundamental, yaitu pancasila merupakan falsafah bangsa, Dasar Negara, dan Ideologi Negara
· Identitas Instrumental yang berisi UUD 1945 dan tata perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”.
· Identitas Alamiah, yang meliputi Negara kepulauan (Archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya, dan agama, sertakepercayaan.
Menurut sumber lain ( http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html) disebutkan bahwa:
Satu jati diri dengan dua identitas:
1. Identitas Primordial
· Orang dengan berbagai latar belakang etnik dan budaya: jawab, batak, dayak, bugis, bali, timo, maluku, dsb.
· Orang dengan berbagai latar belakang agama: Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan sebagainya.
2. Identitas Nasional
· Suatu konsep kebangsaan yang tidak pernah ada padanan sebelumnya.
· Perlu diruuskan oleh suku-suku tersebut. Istilah Identitas Nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi yang sangat kuat terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalist Revolution, era globalisasi dewasa ini, ideology kapitalisme yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, social, politik dan kebudayaan. Perubahan global ini menurut Fakuyama membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular kearah ideology universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalismelah yang akan menguasainya. Dalam kondisi seperti ini, negara nasional akan dikuasai oleh negara transnasional yang lazimnya didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme. Konsekuensinya, negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian, dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, cirri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi Challence dan response. Jika Challence cukup besar sementara response kecil maka bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangfsa Indian di Amerika. Namun demikian jika Challance kecil sementara response besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
C.Faktor-Faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional
1.Faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi:
· Faktor Objektif, yang meliputi faktor geografis-ekologis dan demografis
· Faktor Subjektif, yaitu faktor historis, social, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia (Suryo, 2002)
2. Menurut Robert de Ventos, dikutip Manuel Castelles dalam bukunya “The Power of Identity” (Suryo, 2002), munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis ada 4 faktor penting, yaitu:
· Faktor primer, mencakup etnisitas, territorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya.
· Faktor pendorong, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembanguanan lainnya dalam kehidupan bernegara.
· Faktor penarik, mencakup modifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional
· Faktor reaktif, pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain.
Faktor pembentukan Identitas Bersama. Proses pembentukan bangsa- negara membutuhkan identitas-identitas untuk menyataukan masyarakat bangsa yang bersangkutan. Faktor-faktor yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa, yaitu :
· Primordial
· Sakral
· Tokoh
· Bhinneka Tunggal Ika
· Sejarah
· Perkembangan Ekonomi
· Kelembagaan
Faktor-faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia sebagai berikut
1. Adanya persamaan nasib , yaitu penderitaan bersama dibawah penjajahan bangsa asing lebih kurang selama 350 tahun
2. Adanya keinginan bersama untuk merdeka , melepaskan diri dari belenggu penjajahan
3. Adanya kesatuan tempat tinggal , yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke
4. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa
Cita- Cita, Tujuan dan Visi Negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bercita-cita mewujudkan negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan rumusan singkat, negara Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini sesuai dengan amanat dalam Alenia II Pembukaan UUD 1945 yaitu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Tujuan Negara Indonesia selanjutnya terjabar dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945. Secara rinci sbagai berikut :
1. Melindungi seganap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan Kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi, dan keadilan sosial
Adapun visi bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai , demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa dan berahklak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, mengausai ilmu pengetahuandan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Setelah tidak adanya GBHN makan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka mengenah (RPJM) Nasional 2004-2009, disebutkan bahwa Visi pembangunan nasional adalah :
1. Terwujudnya kehidupan masyarakat , bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.
2. Terwujudnya masyarakat , bangsa dan negara yang menjujung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia.
3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan
D.Pancasila Sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat internasional, memilki sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa Indonesia berkembang menujufase nasionalisme modern, diletakanlan prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu asas dalam filsafat hidup berbangsa dan bernagara. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri bangsa yang diangkat dari filsafat hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat Negara yaitu Pancasila. Jadi, filsafat suatu bangsa dan Negara berakar pada pandangan hidup yang bersumber pada kepribadiannya sendiri. Dapat pula dikatakan pula bahwa pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan Negara Indonesia pada hakikatnya bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi, filsafat pancasila itu bukan muncul secara tiba-tiba dan dipaksakan suatu rezim atau penguasa melainkan melalui suatu historis yang cukup panjang. Sejarah budaya bangsa sebagai akar Identitas Nasional. Menurut sumber lain (http://unisosdem.org.kliping_detail.php/?aid=7329&coid=1&caid=52) Disebutkan bahwa: kegagalan dalam menjalankan dan medistribusikan output berbagia agenda pembangnan nasional secaralebih adil akan berdampak negatif pada persatuan dan kesatuan bangsa. Pada titik inilah semangat Nasionalisme akan menjadi slah satu elemen utama dalam memperkuat eksistensi Negara/Bangsa. Study Robert I Rotberg secara eksplisit mengidentifikasikan salah satu karakteristik penting Negara gagal (failed states) adalah ketidakmampuan negara mengelola identitas Negara yang tercermin dalam semangat nasionalisme dalam menyelesaikan berbagai persoalan nasionalnya. Ketidakmampuan ini dapat memicu intra dan interstatewar secara hamper bersamaan. Penataan, pengelolaan, bahkan pengembangan nasionalisme dalam identitas nasional, dengan demikian akan menjadi prasyarat utama bagi upaya menciptakan sebuah Negara kuat (strong state). Fenomena globalisasi dengan berbagai macam aspeknya seakan telah meluluhkan batas-batas tradisional antarnegara, menghapus jarak fisik antar negara bahkan nasionalisme sebuah negara. Alhasil, konflik komunal menjadi fenomena umum yang terjadi diberbagai belahan dunia, khususnya negara-negara berkembang. Konflik-konflik serupa juga melanda Indonesia. Dalam konteks Indonesia, konflik-konflik ini kian diperuncing.
DAFTAR PUSTAKA
( http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html)
(http://unisosdem.org.kliping_detail.php/?aid=7329&coid=1&caid=52)
Senin, 01 Maret 2010
NEGARA DAN KONSTITUSI
NEGARA DAN KONSTITUSI
A.Pengertian negara
1.George Gelinek
Negara adalah organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berkediaman dalam wilayah tertentu.
2. Kranenburg
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsa sendiri.
3. Roger F Soultau
Negara adalah alat (agency) atau wewenang atau authority yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama nasyarakat
4. Carl Schmitt
Negara adalah sebagai suatu ikatan dari manusia yang mengorganisasi dirinya dalam wilayah tertentu.
B.Pengertian Konstitusi :
1. Konstitusi dalam pengertian luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar.
2. Konstitusi dalam pengertian sempit berarti piagam dasar atau undang-undang dasar (Loi constitutionallle) ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara.
3. EC Wade
Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan tersebut.
4. Herman Heller
menamakan undang-undang dasar sebagai riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan.
5. Lasalle
pengertian konstitusi adalah Kekuasaan antara kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat (faktor kekuatan riil : presiden, TNI, Partai; buruh, tani dsb).
6. Carl Schmitt dari mazhab politik. adalah :
a. Kosntitusi dalam arti absolut, seluruh keadaan atau struktur dalam negara, konstitusi harus menentukan segaa apa dalam negara.
b. Konstitusi dalam arti relatif, maksudnya dapat menjamin kepastian hukum.
c. Konstitusi dalam arti positif, merupakan suatu putusan tertinggi dari pada rakyat atau orang yang tergabung dalam suatu organisasi yang disebut negara.
d. Konstitusi dalam arti ideal, segala wadah yang mampu menampung segala ide yang dicantumkan satu persatu sebagai konstitusi sebagai mana disebut dalam konstitusi dalam arti relatif
C.Teori Terjadinya Negara
John Lock (sebagai bapak Hak asasi bukunya Two Traties Civil Governement) John Lock mengenal pula “Homohominilopus”. Oleh karena didorong keinginan untuk merdeka, maka diadakan suatu perjanjian “Faktum Subjektionis dan Factum Unionis”. Rakyat memberikan kekuasaannya kepada pejabat akan tetapi tidak boleh melanggar hak asasi. Karena manusia makhluk berakal dan mempunyai hak asasi yang terdiri dari:
1. hak asasi terhadap badan;
2. hak asasi terhadap nyawa;
3. hak asasi terhadap kehormatan;
4. hak asasi terhadap harta benda;
5. hak asasi terhadap kemerdekaan.
Terdiri dari :
a. fredum from fear,
b. fredum from want,
c. fredum from of state,
d. fredum from of relegion,
e. fredum from of mistake (kesalahan,kekeliruan),
f. fredum from of tobe free.
Negara kesatuan adalah suatu negara merdeka dan berdaulat yang hanya mempunyai satu pemerintahan.Suatu negara yg merdeka dan berdaulat hanya mempunyai satu pemerintahan yang mengatur seluruh daerah. Pelaksanaannya dapat dengan cara:
1. system sentralisasi diatur oleh pemerintah pusat dan daerah
sebagai pelaksana.
2. Sistem Desentralisasi daerah diberikan kesempatan, kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (Otonomi daerah) yang dinamakan daerah otonom. Lain dengan negara serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Akan tetapi pernah dialami oleh Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS 1949). Negara tetap negara Republik yang tidak menjadi negara-negara bagian. Oleh karena tidak sesuai dengan rakyat dan bangsa Indonesia maka berubah lagi menjadi Negara Republik Indonesia berdasarkan UUDS 1950. Akhirnya berdasarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 kembali ke UUD 45.
D.kedaulatan Negara
Negara untuk dapat menjalankan pemerintahannya harus mempu-nyai kedulatan atau kekuasaan. Kedauatan adalah kekuasaan penuh untuk mengatur rakyat tanpa dicampuri/ pengaruh dari bangsa asing/pemerintah negara lain.
Kedaulatan Negara adalah Kekuasaan tertinggi berada pada negara,Kedaulatan negara ini diperoleh dari teori kedaulatan ketuhanan, kedaulatan rakyat, kedaulatan negara dan kedaulatan hukum.
Negara pada pokoknya mempunyai tujuan :
a.memperluas kekuasaan,
b. menyelenggarakan ketertiban umum dan
c.mencapai kesejahtreraan umum.
E.PENGERTIANDAN PENILAIAN KONSTITUSI
Menurut EC Wade : konstitusi adalah naskah yg memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan itu. Herman Heller dalam bukunya Vervassunglehre : menamakan UUD sebagai riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan.
Herman Heller membagi Konstitusi dalam 3 tingkat:
1. Konstitusi sebagai pengertian politik, mencerminkan keadaan sosial politik suatu bangsa . Pengertian Hukum menjadi skunder, yang primer adalah bangunan masyarakat atau sering disebut political decision. Bangunan masyarakat sebagai hasil keputusan masyarakat.
2. Konstitusi sebagai pengertian hukum , keputusan masyarakat dijadikan perumusan yang normatif, yang harus berlaku. Dari pengertian ini timbul aliran kodifikasi menghendaki hukum tertulis untuk terciptanya kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian hukum.
3. konstitusi sebagai peraturan hukum, peraturan hukum tertulis. Dengan demikian UUD adalah bagian dari konstitusi tertulis.
Menurut Carl schmitt:
1.Konstitusi dlm arti absolut, mencakup seluruh keadaan dan struktur dalam negara. Hal ini didasarkan bahwa negara adalah ikatan dari manusia yang mengorganisir dirinya dlm wilayah tertentu. Konstitusi menentukan segala bentuk kerja sama dlm organisasi negara,. Sehingga konstitusi menentukan segala norma.
2.Konstitusi dalam arti relatif, naskah konstitusi merupakan naskah penting yg sulit untuk diubah dan dengan sendirinya menjamin kepastian hukum. Konstitusi memuat hal-hal yang fondamental saja sehingga tidak absolut.
3.Konstitusi dlm arti positif, konstitusi merupakan keputusan tertinggi dari pada rakyat.
4.Konstitusi dalam arti ideal, konstitusi dapat menampung ide yg dicantumkan satu persatu sebagai isi konstitusi seperti pada konstitusi relatif.
Menilai konstitusi
1. konstitusi bernilai normatif, berarti secara hukum dia-kui dan dilaksanakan secara murni dan konsekwen. 2.konstitusi bernilai nominal, secara hukum konstitusi diakui kedudukannya sebagai konstitusi negara.
3.konstitusi bernilai simpati, secara yuridis diakui dan tidak operasional. Konstitusi ini dikesampingkan oleh kebijakan lain.
Fungsi Konstitusi
1.menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai suatu fungsi konstitusionalisme;
2.memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah;
3.sebagai instrumnen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara;
Sifat Konstitusi
1. Formil dan materiil; Formil berarti tertulis. Materiil dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara. (sama dengan konstitusi dalam arti relatif).
2. Flexibel dan rigid, Kalau rigid berarti kaku suliot untuk mengadakan perubahan sebagaimana disebutkan oleh KC Wheare Menurut James Bryce, ciri flexibel :
a. Elastis.
b. Diumumkan dan diubah sama dengan undang-undang.
3. Tertulis dan tidak tertulis
Cara Perubahan Konstitusi
1. Oleh rakyat melalui referendum
2. Oleh sejumlah negara bagian
3. Dengan konvensi ketatanegaraan.
Hubungan antara Negara dan Konstitusi. Menurut Walton H. Hamilton dengan paham konstitualisme. Konstitusi untuk pengaturan negara, sehingga dinamika kekuasaan dan proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan
penulis asep
A.Pengertian negara
1.George Gelinek
Negara adalah organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berkediaman dalam wilayah tertentu.
2. Kranenburg
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsa sendiri.
3. Roger F Soultau
Negara adalah alat (agency) atau wewenang atau authority yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama nasyarakat
4. Carl Schmitt
Negara adalah sebagai suatu ikatan dari manusia yang mengorganisasi dirinya dalam wilayah tertentu.
B.Pengertian Konstitusi :
1. Konstitusi dalam pengertian luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar.
2. Konstitusi dalam pengertian sempit berarti piagam dasar atau undang-undang dasar (Loi constitutionallle) ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara.
3. EC Wade
Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan tersebut.
4. Herman Heller
menamakan undang-undang dasar sebagai riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan.
5. Lasalle
pengertian konstitusi adalah Kekuasaan antara kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat (faktor kekuatan riil : presiden, TNI, Partai; buruh, tani dsb).
6. Carl Schmitt dari mazhab politik. adalah :
a. Kosntitusi dalam arti absolut, seluruh keadaan atau struktur dalam negara, konstitusi harus menentukan segaa apa dalam negara.
b. Konstitusi dalam arti relatif, maksudnya dapat menjamin kepastian hukum.
c. Konstitusi dalam arti positif, merupakan suatu putusan tertinggi dari pada rakyat atau orang yang tergabung dalam suatu organisasi yang disebut negara.
d. Konstitusi dalam arti ideal, segala wadah yang mampu menampung segala ide yang dicantumkan satu persatu sebagai konstitusi sebagai mana disebut dalam konstitusi dalam arti relatif
C.Teori Terjadinya Negara
John Lock (sebagai bapak Hak asasi bukunya Two Traties Civil Governement) John Lock mengenal pula “Homohominilopus”. Oleh karena didorong keinginan untuk merdeka, maka diadakan suatu perjanjian “Faktum Subjektionis dan Factum Unionis”. Rakyat memberikan kekuasaannya kepada pejabat akan tetapi tidak boleh melanggar hak asasi. Karena manusia makhluk berakal dan mempunyai hak asasi yang terdiri dari:
1. hak asasi terhadap badan;
2. hak asasi terhadap nyawa;
3. hak asasi terhadap kehormatan;
4. hak asasi terhadap harta benda;
5. hak asasi terhadap kemerdekaan.
Terdiri dari :
a. fredum from fear,
b. fredum from want,
c. fredum from of state,
d. fredum from of relegion,
e. fredum from of mistake (kesalahan,kekeliruan),
f. fredum from of tobe free.
Negara kesatuan adalah suatu negara merdeka dan berdaulat yang hanya mempunyai satu pemerintahan.Suatu negara yg merdeka dan berdaulat hanya mempunyai satu pemerintahan yang mengatur seluruh daerah. Pelaksanaannya dapat dengan cara:
1. system sentralisasi diatur oleh pemerintah pusat dan daerah
sebagai pelaksana.
2. Sistem Desentralisasi daerah diberikan kesempatan, kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (Otonomi daerah) yang dinamakan daerah otonom. Lain dengan negara serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Akan tetapi pernah dialami oleh Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS 1949). Negara tetap negara Republik yang tidak menjadi negara-negara bagian. Oleh karena tidak sesuai dengan rakyat dan bangsa Indonesia maka berubah lagi menjadi Negara Republik Indonesia berdasarkan UUDS 1950. Akhirnya berdasarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 kembali ke UUD 45.
D.kedaulatan Negara
Negara untuk dapat menjalankan pemerintahannya harus mempu-nyai kedulatan atau kekuasaan. Kedauatan adalah kekuasaan penuh untuk mengatur rakyat tanpa dicampuri/ pengaruh dari bangsa asing/pemerintah negara lain.
Kedaulatan Negara adalah Kekuasaan tertinggi berada pada negara,Kedaulatan negara ini diperoleh dari teori kedaulatan ketuhanan, kedaulatan rakyat, kedaulatan negara dan kedaulatan hukum.
Negara pada pokoknya mempunyai tujuan :
a.memperluas kekuasaan,
b. menyelenggarakan ketertiban umum dan
c.mencapai kesejahtreraan umum.
E.PENGERTIANDAN PENILAIAN KONSTITUSI
Menurut EC Wade : konstitusi adalah naskah yg memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan itu. Herman Heller dalam bukunya Vervassunglehre : menamakan UUD sebagai riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan.
Herman Heller membagi Konstitusi dalam 3 tingkat:
1. Konstitusi sebagai pengertian politik, mencerminkan keadaan sosial politik suatu bangsa . Pengertian Hukum menjadi skunder, yang primer adalah bangunan masyarakat atau sering disebut political decision. Bangunan masyarakat sebagai hasil keputusan masyarakat.
2. Konstitusi sebagai pengertian hukum , keputusan masyarakat dijadikan perumusan yang normatif, yang harus berlaku. Dari pengertian ini timbul aliran kodifikasi menghendaki hukum tertulis untuk terciptanya kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian hukum.
3. konstitusi sebagai peraturan hukum, peraturan hukum tertulis. Dengan demikian UUD adalah bagian dari konstitusi tertulis.
Menurut Carl schmitt:
1.Konstitusi dlm arti absolut, mencakup seluruh keadaan dan struktur dalam negara. Hal ini didasarkan bahwa negara adalah ikatan dari manusia yang mengorganisir dirinya dlm wilayah tertentu. Konstitusi menentukan segala bentuk kerja sama dlm organisasi negara,. Sehingga konstitusi menentukan segala norma.
2.Konstitusi dalam arti relatif, naskah konstitusi merupakan naskah penting yg sulit untuk diubah dan dengan sendirinya menjamin kepastian hukum. Konstitusi memuat hal-hal yang fondamental saja sehingga tidak absolut.
3.Konstitusi dlm arti positif, konstitusi merupakan keputusan tertinggi dari pada rakyat.
4.Konstitusi dalam arti ideal, konstitusi dapat menampung ide yg dicantumkan satu persatu sebagai isi konstitusi seperti pada konstitusi relatif.
Menilai konstitusi
1. konstitusi bernilai normatif, berarti secara hukum dia-kui dan dilaksanakan secara murni dan konsekwen. 2.konstitusi bernilai nominal, secara hukum konstitusi diakui kedudukannya sebagai konstitusi negara.
3.konstitusi bernilai simpati, secara yuridis diakui dan tidak operasional. Konstitusi ini dikesampingkan oleh kebijakan lain.
Fungsi Konstitusi
1.menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai suatu fungsi konstitusionalisme;
2.memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah;
3.sebagai instrumnen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara;
Sifat Konstitusi
1. Formil dan materiil; Formil berarti tertulis. Materiil dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara. (sama dengan konstitusi dalam arti relatif).
2. Flexibel dan rigid, Kalau rigid berarti kaku suliot untuk mengadakan perubahan sebagaimana disebutkan oleh KC Wheare Menurut James Bryce, ciri flexibel :
a. Elastis.
b. Diumumkan dan diubah sama dengan undang-undang.
3. Tertulis dan tidak tertulis
Cara Perubahan Konstitusi
1. Oleh rakyat melalui referendum
2. Oleh sejumlah negara bagian
3. Dengan konvensi ketatanegaraan.
Hubungan antara Negara dan Konstitusi. Menurut Walton H. Hamilton dengan paham konstitualisme. Konstitusi untuk pengaturan negara, sehingga dinamika kekuasaan dan proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan
penulis asep
GEOPOLITIK INDONESIA
Pengertian Geopolitik Indonesia
Geopolitik berasal dari dua kata, yaitu “geo” dan “politik”. Maka, Membicarakan pengertian geopolitik, tidak terlepas dari pembahasan mengenai masalah geografi dan politik. “Geo” artinya Bumi/Planet Bumi. Menurut Preston E. James, geografi mempersoalkan tata ruang, yaitu sistem dalam hal menempati suatu ruang di permukaan Bumi. Dengan demikian geografi bersangkut-paut dengan interrelasi antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya. Sedangkan politik, selalu berhubungan dengan kekuasaan atau pemerintahan.
Dalam studi Hubungan Internasional, geopolitik merupakan suatu kajian yang melihat masalah / hubungan internasional dari sudut pandang ruang atau geosentrik. Konteks teritorial di mana hubungan itu terjadi bervariasi dalam fungsi wilayah dalam interaksi, lingkup wilayah, dan hirarki aktor: dari nasional, internasional, sampai benua-kawasan, juga provinsi atau lokal.
Dari beberapa pengertian diatas, pengertian geopolitik dapat lebih disederhanakan lagi. Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji masalah-masalah geografi, sejarah dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada politik internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi, yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai 4 unsur yang pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijaksanaan.
B.pengertian wawasan nusantara
Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungan sekitarnya berdasarkan ide nasionalnya yang berlandaskan pancasila dan UUD 1945 (Undang-Undang Dasar 1945) yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, bermartabat serta menjiawai tata hidup dalam mencapai tujuan perjuangan nasional.
Wawasan Nusantara telah diterima dan disahkan sebagai konsepsi politik kewarganegaraan yang termaktub / tercantum dalam dasar-dasar berikut ini :
- Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tanggal 22 maret 1973
- TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 tanggal 22 maret 1978 tentang GBHN
- TAP MPR nomor II/MPR/1983 tanggal 12 Maret 1983
Ruang lingkup dan cakupan wawasan nusantara dalam TAP MPR '83 dalam mencapat tujuan pembangunan nasionsal :
Kesatuan Politik
- Kesatuan Ekonomi
- Kesatuan Sosial Budaya
- Kesatuan Pertahanan Keamanan
Dasar Pemikiran
Kehidupan manusia di dunia mempunyai kedudukan sebagai hamba Tuhan YME dan sebagai wakil Tuhan (khalifullah) di bumi yang menerima amanat-Nya untuk mengelola kekayaan alam.
Manusia dalam melaksanakan tugas dan kegiatan hidupnya bergerak dalam dua bidang universal filosofis dan sosial politis. Di bidang universal filosofis trasenden dan idealistik, sedangkan bidang sosial politis bersifat imanen dan realistis yang bersifat lebih nyata dan dapat dirasakan.
Sebagai negara kepulauan dengan masyarakatnya yang ber-bhinneka, negara Indonesia memiliki unsur-unsur kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan gegrafis yang strategis dan kaya sumber daya alam. Kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa dan satu tanah air.
Pengertian Wawasan Nusantara
Cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiawai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan atau cita-cita nasional.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara
1. Wilayah.
2. Geopolitik dan Geostrategi.
3. Perkembangan wilayah Indonesia dan dasar hukumnya.
Unsur-unsur Dasar Wawasan Nusantara
1. Wadah
Wawasan Nusantara sebagai wadah meliputi 3 komponen :
a. Wujud Wilayah
Batas ruang lingkup wilayah nusantara ditentukan oleh lautan yang di dalamnya terdapat gugusan ribuan pulau yang saling dihubungkan oleh dalamnya perairan. Oleh karena itu nusantara dibatasi oleh lautan dan daratan serta dihubungkan oleh perairan dalamnya. Sedangkan secara vertikal ia merupakan suatu bentuk kerucut terbuka keatas dengan titik puncak kerucut di pusat bumi.
Letak geografis negara berada di posisi dunia anatar 2 samudra, yaitu pasifik dan samudera hindia dan antara dua benua, yaitu asia dan australia. Letak geografis ini berpengaruh besar terhadap aspek-aspek kehidupan nasional Indonesia. Perwujutan wilayah nusantara menyatu dalam kesatuan politik, ekonomi, sosial-busaya dan pertahanan keamanan.
b. Tata Inti Organisasi
Bagi Indonesia. Tata inti organisasi negara berdasarkan pada UUD 1945 yang menyangkut bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, sistem pemerintahan, dan sistem perwakilan.
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Kedaulatan berada di tangan rakyat yang sepenuhnya oleh majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sistem pemerintahannya menganut sistem presidensial. Indonesia merupakan Negara Hukum (Rechk Staat) bukan hanya kekuasaan.
c. Tata Kelengkapan Organisasi
Isi wawasan nusantara tercermin dalam perspektif kehidupan manusia Indoensia dalam eksistensinya yang meliputi :
a) Cita-cita bangsa Indonesia tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Rakyat Indonesiayang berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Pemerintahan negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
b) Asas keterpaduan semua aspek kehidupan nasional berciri manunggal.
Satu kesatuan wilayah nusantara mencakup daratan, perairan dan dirgantara.
Satu kesatuan politik.
Satu kesatuan sosial budaya.
Satu kesatuan ekonomi, atas asas usaha bersama.
Satu kesatuan pertahanan dan keamanan.
Satu kesatuan kebijakan nasional.
2. Tata Laku Wawasan Nusantara Mencangkup Dua Segi
a. Tata laku batinia
Wawasan Nusantara berlandaskan pada falsafah Pancasila untuk membentuk sikap mental.
b. Tata laku lahiriah
Wawasan Nusantara diwujudkan dalam satu sistem organisasi meliputi : perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengadilan.
Implementasi Wawasan Nusantara
3. Wawasan Nusantara sebagai pancaran falsafah Pancasila.
4. Wawasan Nusantara dalam pembangunan nasional.
a. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik.
b. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai kesatuan ekonomi.
c. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan sosial budaya.
d. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan.
5. Penerapan wawasan Nusantara.
6. Hubungan wawasan Nusantara.
daftar pustaka
kaelan,2007,pendidikan kewarganegaraan,paradigma,yogyakarta.
Geopolitik berasal dari dua kata, yaitu “geo” dan “politik”. Maka, Membicarakan pengertian geopolitik, tidak terlepas dari pembahasan mengenai masalah geografi dan politik. “Geo” artinya Bumi/Planet Bumi. Menurut Preston E. James, geografi mempersoalkan tata ruang, yaitu sistem dalam hal menempati suatu ruang di permukaan Bumi. Dengan demikian geografi bersangkut-paut dengan interrelasi antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya. Sedangkan politik, selalu berhubungan dengan kekuasaan atau pemerintahan.
Dalam studi Hubungan Internasional, geopolitik merupakan suatu kajian yang melihat masalah / hubungan internasional dari sudut pandang ruang atau geosentrik. Konteks teritorial di mana hubungan itu terjadi bervariasi dalam fungsi wilayah dalam interaksi, lingkup wilayah, dan hirarki aktor: dari nasional, internasional, sampai benua-kawasan, juga provinsi atau lokal.
Dari beberapa pengertian diatas, pengertian geopolitik dapat lebih disederhanakan lagi. Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji masalah-masalah geografi, sejarah dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada politik internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi, yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai 4 unsur yang pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijaksanaan.
B.pengertian wawasan nusantara
Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungan sekitarnya berdasarkan ide nasionalnya yang berlandaskan pancasila dan UUD 1945 (Undang-Undang Dasar 1945) yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, bermartabat serta menjiawai tata hidup dalam mencapai tujuan perjuangan nasional.
Wawasan Nusantara telah diterima dan disahkan sebagai konsepsi politik kewarganegaraan yang termaktub / tercantum dalam dasar-dasar berikut ini :
- Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tanggal 22 maret 1973
- TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 tanggal 22 maret 1978 tentang GBHN
- TAP MPR nomor II/MPR/1983 tanggal 12 Maret 1983
Ruang lingkup dan cakupan wawasan nusantara dalam TAP MPR '83 dalam mencapat tujuan pembangunan nasionsal :
Kesatuan Politik
- Kesatuan Ekonomi
- Kesatuan Sosial Budaya
- Kesatuan Pertahanan Keamanan
Dasar Pemikiran
Kehidupan manusia di dunia mempunyai kedudukan sebagai hamba Tuhan YME dan sebagai wakil Tuhan (khalifullah) di bumi yang menerima amanat-Nya untuk mengelola kekayaan alam.
Manusia dalam melaksanakan tugas dan kegiatan hidupnya bergerak dalam dua bidang universal filosofis dan sosial politis. Di bidang universal filosofis trasenden dan idealistik, sedangkan bidang sosial politis bersifat imanen dan realistis yang bersifat lebih nyata dan dapat dirasakan.
Sebagai negara kepulauan dengan masyarakatnya yang ber-bhinneka, negara Indonesia memiliki unsur-unsur kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan gegrafis yang strategis dan kaya sumber daya alam. Kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa dan satu tanah air.
Pengertian Wawasan Nusantara
Cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiawai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan atau cita-cita nasional.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara
1. Wilayah.
2. Geopolitik dan Geostrategi.
3. Perkembangan wilayah Indonesia dan dasar hukumnya.
Unsur-unsur Dasar Wawasan Nusantara
1. Wadah
Wawasan Nusantara sebagai wadah meliputi 3 komponen :
a. Wujud Wilayah
Batas ruang lingkup wilayah nusantara ditentukan oleh lautan yang di dalamnya terdapat gugusan ribuan pulau yang saling dihubungkan oleh dalamnya perairan. Oleh karena itu nusantara dibatasi oleh lautan dan daratan serta dihubungkan oleh perairan dalamnya. Sedangkan secara vertikal ia merupakan suatu bentuk kerucut terbuka keatas dengan titik puncak kerucut di pusat bumi.
Letak geografis negara berada di posisi dunia anatar 2 samudra, yaitu pasifik dan samudera hindia dan antara dua benua, yaitu asia dan australia. Letak geografis ini berpengaruh besar terhadap aspek-aspek kehidupan nasional Indonesia. Perwujutan wilayah nusantara menyatu dalam kesatuan politik, ekonomi, sosial-busaya dan pertahanan keamanan.
b. Tata Inti Organisasi
Bagi Indonesia. Tata inti organisasi negara berdasarkan pada UUD 1945 yang menyangkut bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, sistem pemerintahan, dan sistem perwakilan.
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Kedaulatan berada di tangan rakyat yang sepenuhnya oleh majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sistem pemerintahannya menganut sistem presidensial. Indonesia merupakan Negara Hukum (Rechk Staat) bukan hanya kekuasaan.
c. Tata Kelengkapan Organisasi
Isi wawasan nusantara tercermin dalam perspektif kehidupan manusia Indoensia dalam eksistensinya yang meliputi :
a) Cita-cita bangsa Indonesia tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Rakyat Indonesiayang berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Pemerintahan negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
b) Asas keterpaduan semua aspek kehidupan nasional berciri manunggal.
Satu kesatuan wilayah nusantara mencakup daratan, perairan dan dirgantara.
Satu kesatuan politik.
Satu kesatuan sosial budaya.
Satu kesatuan ekonomi, atas asas usaha bersama.
Satu kesatuan pertahanan dan keamanan.
Satu kesatuan kebijakan nasional.
2. Tata Laku Wawasan Nusantara Mencangkup Dua Segi
a. Tata laku batinia
Wawasan Nusantara berlandaskan pada falsafah Pancasila untuk membentuk sikap mental.
b. Tata laku lahiriah
Wawasan Nusantara diwujudkan dalam satu sistem organisasi meliputi : perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengadilan.
Implementasi Wawasan Nusantara
3. Wawasan Nusantara sebagai pancaran falsafah Pancasila.
4. Wawasan Nusantara dalam pembangunan nasional.
a. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik.
b. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai kesatuan ekonomi.
c. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan sosial budaya.
d. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan.
5. Penerapan wawasan Nusantara.
6. Hubungan wawasan Nusantara.
daftar pustaka
kaelan,2007,pendidikan kewarganegaraan,paradigma,yogyakarta.
DEMOKRASI INDONESIA
DEMOKRASI INDONESIA
A. Demokrasi dan implementasi
pertama,hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditujukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebih dari 100sarjana Barat dan Timur,sementara di negara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda (kendati sama-sama negara demokrasi).
Kedua, demokrasi sebagai asa kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi itu berjalan dalam jalur yang berbeda-beda.
Dalam hubungannya dengan implementasikedalam sistem pemerintahan,demokrasi juga melahirkan sistem yang bermacam-macam seperti:pertama, sistem presidensial yang menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan memberi dua kedudukan kepada presiden yakni sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.kedua,sistem parlementer yang meletakkan pemerintah dipimpin oleh perdanamentri yang hanya berkedudukan sebagai kepala pemerintahan dan bukan kepala negara,sebab kepala negaranya bisa diduduki oleh raja atau presiden yang hanya menjasi simbol kedaulatan dan persatuan.ketiga,sistem referendum yang meletakkan pemerintah sebagai bagian (badan pekerja)dari parlemen.di beberapa negara ada yang menggunakan sistem campuran antara presidensial dengan parlementer, yang antara lain dapat dilihat sistem ketatanegaraan di prancis atau di indonesia berdasar UUD 1945.
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang pemilu
B. Arti dan perkembangan demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Sejarah dan Perkembangan Demokrasi
Isitilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
Diskursus demokrasi di Indonesia tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya.
Dipasungnya demokrasi di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem politik di Indonesia pada tahun 1997. Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tulisan ini berusaha menguraikan lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu pragmatisme politik. Selain itu di akhir, penulis akan berupaya menjawab pilihan demokrasi yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Munculnya Kekuatan Politik Baru yang Pragmatis
Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan yang panjang oleh mahasiswa, rakyat dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak mengarah ke perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata kita bisa melihat perubahan yang sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi era penuh keterbukaan. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di masyarakat tidak kunjung berubah dikarenakan adanya kalangan oposisi elit yang menguasai berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi dengan sistem yang korup dan kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir tidak ada satu pun elit lama berhaluan reformis yang berhasil memegang posisi-posisi kunci untuk mengambil inisiatif. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan kembalinya kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat, dan munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis. Infiltrasi sikap yang terjadi pada kekuatan baru adalah karena mereka terpengaruh sistem yang memang diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan mudah.
Selain hal tersebut, kurang memadainya pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan belum munculnya artikulator-artikulator politik baru yang dapat mempengaruhi sirkulasi elit politik Indonesia. Gerakan mahasiswa, kalangan organisasi non-pemerintah, dan kelas menengah politik yang ”mengambang” lainnya terfragmentasi. Mereka gagal membangun aliansi yang efektif dengan sektor-sektor lain di kelas menengah. Kelas menengah itu sebagian besar masih merupakan lapisan sosial yang berwatak anti-politik produk Orde Baru. Dengan demikian, perlawanan para reformis akhirnya sama sekali tidak berfungsi di tengah-tengah situasi ketika hampir seluruh elit politik merampas demokrasi. Lebih lanjut, gerakan mahasiswa yang pada awal reformasi 1997-1998 sangatlah kuat, kini sepertinya sudah kehilangan roh perjuangan melawan pemerintahan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh berbedanya situasi politik, tetapi juga tingkat apatisme yang tinggi yang disebabkan oleh depolitisasi lewat berbagai kebijakan di bidang pendidikan. Mulai dari mahalnya uang kuliah yang menyebabkan mahasiswa dituntut untuk segera lulus. Hingga saringan masuk yang menyebabkan hanya orang kaya yang tidak peduli dengan politik.
Akibat dari hal tersebut, representasi keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia publik pun menjadi minim. Demokrasi yang terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya bisa dilihat sebagai demokrasi elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi para elit. Rakyat hanya sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit yang sebaiknya memerintah masyarakat.
Memilih Demokrasi untuk Indonesia
Pertanyaan yang muncul dari kemudian adalah,”Lantas, jika reformasi 1998 juga belum dapat menentukan bagaimana model demokrasi yang cocok bagi Indonesia, apakah demokrasi memang tidak cocok bagi Indonesia?”. Menanggapi pertanyaan diatas, penulis perlu menekankan untuk memisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik dengan demokrasi sebagai sebuah nilai. Demokrasi adalah sebuah nilai yang memberikan kebebasan dan partisipasi masyarakat. Dengan demokrasi, para warga negara dapat dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Idealismenya, setiap individu berhak menentukan segala hal yang dapat mempengaruhi kehidupannya, baik dalam kehidupan personal maupun sosial. Selain itu, demokrasi juga adalah cara yang efektif untuk mengontrol kekuasaan agar tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang.
Penulis melihat bahwa masa transisi di Indonesia yang masih belum menunjukan kehidupan demokrasi yang baik lebih dikarenakan negara hukum yang menjadi landasan Indonesia belum dapat mengkonsolidasikan demokrasi. Persyaratan untuk menuju konsolidasi demokrasi akhirnya memang sangat bertumpu pada proses reformasi hukum. Hukum harus diciptakan untuk memberikan jaminan berkembangnya masyarakat sipil dan masyarakat politik yang otonom, masyarakat ekonomi yang terlembagakan, dan birokrasi yang mampu menopang pemerintahan yang demokratis. Hukum harus dikembangkan untuk memperkuat masyarakat sipil (civil society) agar mampu menghasilkan alternatif-alternatif politik dan mampu mengontrol dan memantau pemerintah dan negara ketika menjalankan kekuasaannya.
Oleh karena itu, penulis melihat masih ada harapan bagi Indonesia di masa yang akan datang. Walaupun banyak yang skeptis bahwa masa depan politik di Indonesia akan menuju kearah yang lebih baik. Namun perkembangan yang terjadi belakangan ini dapat dijadikan setitik harapan bagi masa depan Indonesia. Yang perlu dicatat adalah jangan sampai kita terjebak dalam demokrasi prosedural saja dan melupakan ketertinggalan masyarakat secara ekonomi maupun sosial. Masalah-masalah sosial yang secara jelas mengancam integrasi bangsa ini dan juga berbagai kasus kelaparan harulah cepat diselesaikan. Seiring dengan perbaikan sistem politik dan juga aktor-aktor yang terlibat didalamnya.
Demokrasi dan Demokrasi Liberal
Demokrasi merupakan salah satu konsep paling kontroversial dan penuh perdebatan dalam teori politik. Ini sangat wajar karena sejak dilontarkan pada era Yunani kuno sampai sekarang, tiada definisi tunggal yang bisa menjelaskan makna demokrasi secara memadai. Ada usaha yang menarik dari UNESCO tatkala ingin menjelaskan cita-cita demokrasi pasca Perang Dunia II. Untuk mencari definisi yang bisa disepakati semua pihak, badan ini lantas menugaskan sekelompok sarjana untuk mereview berbagai literatur yang memberikan penjelasan tentang demokrasi. Di dalam laporan mereka, Democracy in a World of Tensons, UNESCO, Paris, 1951, para sarjana itu harus mengakui kegagalannya. Ada begitu banyak definisi dan teori yang bertentangan dan mustahil untuk mencapai kesepakatan (Adams, 2004: 74).
Meski telah disebarkan secara global, namun demokrasi tetap merupakan konsep yang ambigu, terbuka pada banyak interpretasi. Begitu banyak defenisi yang dilekatkan padanya, sehingga ia dapat digolongkan sebagai konsep yang secara esensial diperebutkan. Tidak ada pengertian yang netral terhadapnya, karena sejatinya, setiap definisi memiliki ikatan sosial dan politiknya masing-masing dan beroperasi dalam perspektif sosial dan politis tertentu. Di pentas studi ilmu politik dewasa ini, demokrasi liberal (elektoral-prosedural) telah memenangi pertarungan pemaknaan tentang konsep demokrasi. Demokrasi prosedural meraih kemenangannya pada tahun 1970-an setelah berhasil menggeser pemahaman subtantifis demokrasi. Pemahaman subtantifis demokrasi lebih menekankan pemaknaan demokrasi pada sisi utopia dan ideal, yang mengadvokasi nilai-nilai kesetaraan dalam berdemokrasi (Mas’oed, 1999: 8).
Namun, setelah pemahaman ini digusur oleh model demokrasi prosedural, pemaknaan demokrasi lantas lebih terfokus pada persoalan penciptaan prosedur dan berbagai aturan main dalam pemilu. Pemilu multipartai dikatakan sebagai esensi demokrasi, sementara kompetisi melalui pemilu diletakkan sebagai upaya inti untuk menggobalkan demokrasi. Perhatian pada pemilu ini digambarkan melalui definisi Huntington tentang demokrasi yakni “apabila pembuat kebijakan yang paling kuat dipilih dalam pemilu yang periodik, jujur, dan adil, manakala kandidat dapat secara bebas bersaing merebut suara dan hampir semua penduduk dewasa bisa memberikan suaranya. Demokrasi (elektoral) memberikan “jaminan kebebasan tak tertandingi oleh sistem politik manapun” (Diamond, 2003:3)
Akar-akar intelektual tentang definisi kontemporer ihwal demokrasi dapat ditemukan melalui tulisan Joseph Schumpeter. Mengikuti rumusan Schumpeter, demokrasi adalah metode politik. Demokrasi sebagai metode demokratik tak lain merupakan “pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana berbagai individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan. Bagi Schumpeter, apa yang disebut para teoritisasi klasik, seperti Jean Jacques Rousseau, sebagai “kehendak rakyat” sebenarnya hanyalah hasil dari proses politik, bukan ruh, semangat, atau motor penggeraknya (Mas’oed, 1999: 8).
Demokrasi, tutur Schumpeter, tidak berarti dan tidak boleh berarti rakyat berkuasa secara aktual, sebagaimana mestinya dalam himpunan istilah “rakyat” dan “kekuasaan”. Dengan kata lain, demokrasi hanya mengandung arti: rakyat mempunyai peluang untuk menolak atau menerima elit-elit yang akan memerintah mereka melalui pemilu. Dengan nada yang agak arogan, Schumpeter menyebut demokrasi sebagai kekuasaan politisi (the rule of politician) (Abrahamsen, 2000: 114).
Pengertian ini menggiring pada pemaknaan reduksionis terhadap demokrasi: peran dan partisipasi rakyat dalam pemilu semata-mata bertujuan melahirkan elit-elit politik yang akan memegang tampuk kekuasaan, entah itu berketapan hati untuk menjalankan kehendak rakyat ataupun tidak. Hak pilih yang semestinya diikuti oleh hak kontrol secara kolektif sebagai manifestasi kekuasaan rakyat, lantas menjadi sekedar hak menumpuk kertas suara yang diakumulasi panitia pemilu guna melegitimasi para elit terpilih. Itu saja.
Pengertian demokrasi prosedural dalam literatur politik maenstream semakin diteguhkan Max Weber tatkala ia mengintrodusir teori elitisme demokrasi. Bagi Weber, demokrasi merupakan upaya penciptaan kepemimpinan politik efektif dalam masyarakat birokratis modern. Kondisi itu baru tercipta jika para pemilih (rakyat) hanya memiliki sedikit pengaruh dalam pengambilan kebijakan. Dalam istilah Weber, demokrasi modern butuh “keengganan rakyat” (sollousness of masses) dan juga butuh pembelahan warga menjadi “kelompok yang pasif dan aktif secara politik (politically passive and politically active elements) (Abrahamsen, 2004: 114).
“Keengganan rakyat” dibutuhkan dalam pengertian bahwa kontrol terhadap demokrasi serta partisipasi dianggap tidak bisa tercapai dan tidak realistis. Karena itu, teori ini mengakui bahwa demokrasi akan bekerja dengan sempurna tatkala di dalamnya masyarakat secara umum tidak berpartisipasi secara aktif dalam setiap pengambilan kebijakan. Selain itu, apatisme tidak dilihat sebagai hal buruk, malahan justru menjadi petunjuk bagi tingginya tingkat derajat kepercayaan terhadap pemimpin politik dan merupakan tanda kepuasan dasar dari pemilih dan cerminan “sehatnya demokrasi”.
Beberapa teori melangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa apatisme sangat positif dan berfungsi bagi stabilitas sistem demokrasi dan menjadi “pertanda adanya pengertian dan toleransi terhadap keragaman manusia”. Ini jelas mengacu pada negara-negara demokrasi liberal, seperti Amerika, di mana partisipasi politik dalam pemilu di sana sangat rendah. Yang ditekankan oleh teori politik maenstream ini adalah bahwa sistem demokrasi politik diperlukan sepanjang tidak menghalangi manifestasi kebebasan individu. Demokrasi hanyalah sebatas alat untuk mencapai tujuan, yakni memaksimumkan kebebasan individu. Menurut garis liberal, demokrasi merupakan sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu untuk menunaikan pilihan dalam transaksi pasar dan menjamin terkikisnya kekerasan politik sehingga memungkinkan tertampungnya beragam aspirasi melalui pemilu, bukannya menggugah partisipasi secara luas dalam pengambilan kebijakan politik.
Tesis demokrasi liberal ini telah melenceng dari gagasan-gagasan awal demokrasi yang mensyaratkan pentingnya partisipasi dalam pembangunan diri dan komunitas warga negara, sebagaimana rumusan Rousseau, yang masyhur dengan teori kontrak sosialnya. Dalam rumusan Rousseau, kehendak umum, melalui partisipasi luas, akan menjadi kebenaran kehendak dari masing-masing-masing warga negara, dan berkebalikan dengan kehendak “private” atau kehendak yang egois (Heywood,1988:72) . Fungsi partisipasi dalam alam demokrasi juga menjadi penegasan John Stuart Mill. Tuturnya, tanpa partisipasi nyaris semua semua orang ditelan ragam kepentingan pribadi dan pemuasan kebutuhan pribadi mereka sendiri.
Wacana politik maenstream yang mengekang partisipasi publik dalam proses pembangunan serta pembuatan dan kontrol kebijakan publik, senyatanya merupakan upaya mengekang kehendak rakyat akan perbaikan keadilan sosial, memangkas harapan peningkatan kesejahteraan dan ragam kebutuhan subtantif lain. Pendekatan demokrasi liberal lebih menekankan pada penciptaan hak-hak formal, persamaan dihadapan hukum, dan lahirnya stabilitas politik. Jadi, menurut kaum liberalis, tak relevan melekatkan isu ketimpangan ekonomi dan keadilan sosial dengan demokrasi. Dalam banyak literatur kontemporer, selanjutnya, demokrasi tidak bertemali dengan strategi dan struktur ekonomi; atau dalam bahasa Diamond et.al (Abrahamsen:2004), a political system, separate apart to the economic system to wich it is joined…sejenis sistem politik yang berjarak dan berpisah dengan sistem ekonominya. Hak-hak subtantif warga negara lantas tergusur oleh agenda formal demokrasi.
Dengan paparan tersebut di atas, muncul suatu pertanyaan di mana posisi masyarakat sipil (civil society) yang tumbuh berkembang mengikuti arus demokratisasi di dunia ketiga? Dalam rumusan demokrasi liberal, masyarakat sipil muncul sebagai mata rantai kunci antara demokrasi dengan liberalisme ekonomi. Cara terbaik untuk memperkuat masyarakat sipil adalah dengan mengurangi peran negara dan memperluas wilayah kekuatan pasar seperti anjuran program penyesuaian struktural (structural adjusment program)[1]. Perserikatan sosial yang bisa mengurus pelayanan sosial dan ekonominya secara mandiri di hadapan negara adalah konsepsi masyarakat sipil yang demokratis dan partisipatif. Di sisi lain, pembatasan negara atas peran ekonomi dan pelayanan sosial adalah suatu proyek perluasan demokrasi.
Jika demokrasi liberal tidak mempedulikan partisipasi masyarakat dalam meraih hak-hak politik—selain kebebasan individu untuk memilih dalam pemilu—, mendapatkan jaminan sosial, dan hak perbaikan ekonomi mereka sebagaimana dibutuhkan oleh mayoritas masyarakat dunia ketiga, di mana relevansi demokrasi liberal dengan pembangunan negara berkembang?
Praktek demokrasi liberal di negara dunia ketiga
Mengikuti rentetan argumentasi demokrasi liberal secara total jelas akan menghadirkan problematika tersendiri, terutama bagi kebanyakan dunia ketiga, tak terkecuali Indonesia. Sebagai contoh, studi Sorensen (1993, dalam Syihabuddin, 2004) telah menunjukkan bahwa India merupakan salah satu negara terbesar di Selatan yang paling stabil dalam melaksanakan demokrasi elektroral. Namun, tidak ada perubahan kesejahteraan pada 40% masyarakat India akibat kemiskinan akut, dengan ratusan ribu penduduk mati tiap tahunnya karena parahnya kekurangan gizi dan kelaparan.
Sebagai negara yang konsisten menjalankan demokrasi selama 50 tahun, tetap saja tak mampu menjawab keterpurukan masyarakat India yang tak kurang dari 20.000 orang tiap harinya mengidap Tubercolosis dan mengakibatkan sekira 450.000 dari mereka mati tiap tahunnya
Pemaparan yang sangat menarik dilakukan oleh Abrahamsen (2004) dengan mendedahkan praktek good governance—anak kandung demokrasi liberal yang bertugas meliberalisasi struktur pemerintahan negara dunia ketiga—di Afrika. Dengan memotret tumbuhnya kembali demokrasi dan hadirnya harapan masa depan cerah dari masyarakat beberapa negara Afrika seperti Zambia, Pantai Gading, Ghana, dan Kenya, Abrahamsen sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi liberal yang bergeliat dibalik kerja good governance gagal total memenuhi janji-janjinya.
Kemenangan demokrasi liberal hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit dan kelas menengah yang mampu terserap dalam struktur politik demokratis dan lembaga-lembaga donor dan kreditor global yang menggelontorkan bantuan pembangunan dengan kompensasi terintegrasinya Afrika dengan pasar bebas dunia. Bagi mayoritas masyarakat miskin di Afrika, demokratisasi hanya melahirkan penderitaan dan kemiskinan yang lebih parah. Hal ini yang menyebabkan beragam kerusuhan dan instabilitas sosial yang menjangkiti banyak negara di Afrika Sub Sahara.
Bagaimana dengan Indonesia? Semenjak reformasi politik begulir di negeri ini, liberalisasi politik—melalui jargon good governance—yang bergerak maju bersama liberalisme ekonomi telah mempercantik paras stuktur politik Indonesia dengan berbagai kebijakan seperti pemilu langsung dan desentralisasi politik. Devolusi kekuasaan ini secara telak menyebarkan kekuasaan ke daerah-daerah untuk menjauhi pusat. Kebijakan ini merupakan rute pertama untuk mempreteli kekuasaan pemerintah pusat dan “mendekatkannya” kepada masyarakat di berbagai daerah.
Ada denyut demokrasitisasi dalam kebijakan ini, dan sangat positif bagi perkembangan daerah-daerah yang telah begitu lama dibekap sentralisme pusat. Namun jika tidak dikawal secara menyeluruh oleh berbagai elemen sipil, maka pembajakan lembaga-lembaga demokrasi secara “demokratis” oleh para elit predator (Hadiz, 2003) akan terjadi di berbagai daerah. Rakyat hanya akan menjadi korban dari gurita kekuasaan local bossism (Safirani: 2004) yang bergandengan tangan dengan pihak pemodal domestik dan asing untuk menguasai beragam sektor ekonomi.
Kebijakan desentralisasi ini berbarengan dengan desakan lembaga donor dan kreditor internasional melalui “program penyesuaian struktural” terhadap negara untuk segera melepas berbagai unit bisnis yang dikuasainya. Semenjak 1998 terdapat 16 BUMN yang siap dilepas ke publik—sangat besar kemungkinan jatuh ke tangan asing—seperti PT. Indosat. Jika program privatisasi BUMN di tengah masa krisis ekonomi—pasti harga-harga BUMN pada jatuh—ini dijalankan serampangan dan menyeluruh—sebagaimana diinginkan secara segera oleh pihak asing dan beberapa pengusaha Indonesia—maka yang bakalan terjadi terjadi adalah “rampokisasi” BUMN oleh kalangan swasta, terutama pemodal besar Internasional (Baswir, 2003: 205-226).
Indonesia sebagai negara yang sedang “belajar” menjalankan sistem demokrasi telah melangkah jauh. Hak-hak formal masyarakat dalam berpolitik telah dijamin dengan munculnya pemilu langsung, baik di level pusat maupun daerah-daerah. Tak bisa dipungkiri, ada perubahan signifikan pada penjaminan hak asasi manusia, terbukanya “kran-kran” partisipasi dan kontrol publik, dan seterusnya.
Namun, problem kesejahteraan yang akut di kalangan rakyat masih belum terpecahkan oleh sistem baru ini. Rakyat masih saja (bahkan) tergeser dari skala prioritas pemberdayaan negara. Apresiasi terhadap masyarakat lokal, misalnya, bukanlah pemberdayaan subtantif yang tulus terhadap setiap warganegara atas hak-hak sosial dan ekonomi mereka, namun hanyalah upaya untuk meliberalisasi komunitas lokal itu sehingga kian adaptif dan terintegrasi ke dalam sistem pasar. Jika tidak berhati-hati melangkah dan bersiasat menyikapi “kontrol” kekuatan suprastate, maka demokratisasi dan good governance hanya menjadi jargon kosong bagi pemberdayaan masyarakat. Kondisi semacam ini bisa diusung sebagai refleksi betapa demokrasi liberal-prosedural bukanlah corak demokrasi yang dibutuhkan rakyat yang begitu merana akibat himpitan kemiskinan dan keterbelakangan. Demokrasi jenis ini hanya bisa dinikmati segolongan elit yang memiliki akses untuk turut bermain di dalamnya. Rakyat kebanyakan, dengan segala ketimpangannya, hanya bisa berdiri di luar sistem dan tak mampu memanfaatkan demokrasi jenis ini untuk melakukan perubahan yang berarti bagi diri mereka sendiri.
Kekhawatiran munculnya ragam ketimpangan yang tak pernah dijawab oleh kalangan demokrasi liberal direkam oleh Bentham (Abrahamsen:2000) bahwa persoalan demokrasi representatif bukanlah pada pembatasannya terhadap aktivitas untuk memilih dalam pemilu, namun lebih pada tipisnya peluang untuk bisa terlibat dan mempengaruhi kebijakan, karena peluang itu akan sangat tergantung pada pelbagai sumberdaya, terutama uang, waktu, dan tingkat pendidikan. Kesemuanya itu jelas tidak merata di negara-negara selatan, termasuk Indonesia.
Argumentasi yang diajukan oleh tulisan ini tidak hendak meremehkan potensi demokrasi liberal sebagai tawaran ideologi yang penting bagi penataan sistem pemerintahan, seperti penyesahatan birokrasi yang sangat gemuk dan korup, mentalitas “perampok” para pejabat, penjaminan hak-hak formal warga negara, dan seterusnya. Namun, tulisan ini berupaya untuk melawan penyepelean demokrasi liberal terhadap hak-hak sosial-ekonomi dalam praktek politiknya. Nalar yang dibangun demokrasi liberal jelas mengabaikan semangat transformasi ekonomi-sosial-politik melalui pembatasan hak partisipasi rakyat oleh kokohnya kekuasaan elit politik dan dominasi kaum pemodal, yang disebut Bill Liddle, ‘power behind the throne..kekuasaan di balik singgasana. Kaum pemodal global inilah yang kerap menentukan hitam-putihnya kebijakan penguasa politik suatu negara, termasuk Indonesia.
Demokrasi Deliberative: Satu Agenda Aksi
Dalam perkembangannya, mekanisme politik representasi ala liberal tampak tak efektif lagi dalam merengkuh ide pokok demokrasi: memfasilitasi keterlibatan aktif warganegara, mendorong konsensus politik melalui dialog, merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan publik akan suatu ekonomi produktif dan kesehatan masyarakat, dan, dalam versi ide demokrasi yang lebih radikal dalam hal kesetaraan: menjamin tersebarnya kekayaan negara kepada semua warga (Fung & Wright:1999).
Tentu sistem politik yang mampu bekerja melaksanakan ide-ide demokratik semacam itu bukan datang dari demokrasi liberal, yang justru mengesampingkan arti penting partisipasi, pelayanan sosial dan pemberdayaan ekonomi warganya. Di akhir tulisan ini, akan direfleksikan satu gagasan radikal: mengembangkan suatu strategi demokrasi tranformatif yang mampu memecahkan persoalan fundamental masyarakat, terutama di negara berkembang. Satu model pengembangan demokrasi telah menjadi tawaran baru bagi sistem pemerintahan dan model perumusan kebijakan di suatu daerah atau negara.
Demokrasi model ini meyakini bahwa demokrasi merupakan suatu proses transformatif yang memungkinkan masyarakat dan pengambil kebijakan terlibat dalam partisipasi yang alami (genuin deliberation) untuk menentukan berbagai kebijakan (Farrelly, 2004). Demokrasi ini juga mengadvokasi munculnya partisipasi dalam demokrasi, kolaborasi antar stakeholders dalam proses policymaking, dan pengelolaan pemerintahan berbasis dialog yang sehat (Hajer and Wagenar,edt., 2003).
Demokrasi deliberative telah diujicobakan di beberapa negara untuk memampukan masyarakat sehingga turut terlibat dalam berbagai kebijakan yang langsung berhubungan dengan mereka. Misalnya kasus parcipatory budgeting di Porto Alegre Brazil, yang memungkinkan warga kota untuk merumuskan anggaran daerah dan sekaligus mengontrol penggunaannya. Juga The Panchayat Reform di West Bengal, India, di mana masyarakat mampu menciptakan saluran demokratik, baik langsung atau perwakilan, yang bertanggung jawab atas kekuasaan administratif dan perpajakan bagi warga pedesaan. Atau juga misalnya keberhasilan program Habitat Concervation Planning di beberapa negara dengan melibatkan banyak warganya (Fung and Wright, 1999).
Tantangan Indonesia hari ini tidak semata ada pada pembenahan sistem rekrutmen anggota lembaga perwakilan. Lebih dari itu, tantangan krusialnya justru terletak pada sejauh mana demokrasi perwakilan itu sendiri dapat beresonansi dengan pertimbangan dan partisipasi publik secara luas (deliberative democracy), termasuk yang terkait dengan medium-medium aspirasi dan partisipasi masyarakat yang bersifat informal.
A. Demokrasi dan implementasi
pertama,hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditujukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebih dari 100sarjana Barat dan Timur,sementara di negara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda (kendati sama-sama negara demokrasi).
Kedua, demokrasi sebagai asa kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi itu berjalan dalam jalur yang berbeda-beda.
Dalam hubungannya dengan implementasikedalam sistem pemerintahan,demokrasi juga melahirkan sistem yang bermacam-macam seperti:pertama, sistem presidensial yang menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan memberi dua kedudukan kepada presiden yakni sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.kedua,sistem parlementer yang meletakkan pemerintah dipimpin oleh perdanamentri yang hanya berkedudukan sebagai kepala pemerintahan dan bukan kepala negara,sebab kepala negaranya bisa diduduki oleh raja atau presiden yang hanya menjasi simbol kedaulatan dan persatuan.ketiga,sistem referendum yang meletakkan pemerintah sebagai bagian (badan pekerja)dari parlemen.di beberapa negara ada yang menggunakan sistem campuran antara presidensial dengan parlementer, yang antara lain dapat dilihat sistem ketatanegaraan di prancis atau di indonesia berdasar UUD 1945.
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang pemilu
B. Arti dan perkembangan demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Sejarah dan Perkembangan Demokrasi
Isitilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
Diskursus demokrasi di Indonesia tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya.
Dipasungnya demokrasi di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem politik di Indonesia pada tahun 1997. Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tulisan ini berusaha menguraikan lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu pragmatisme politik. Selain itu di akhir, penulis akan berupaya menjawab pilihan demokrasi yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Munculnya Kekuatan Politik Baru yang Pragmatis
Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan yang panjang oleh mahasiswa, rakyat dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak mengarah ke perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata kita bisa melihat perubahan yang sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi era penuh keterbukaan. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di masyarakat tidak kunjung berubah dikarenakan adanya kalangan oposisi elit yang menguasai berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi dengan sistem yang korup dan kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir tidak ada satu pun elit lama berhaluan reformis yang berhasil memegang posisi-posisi kunci untuk mengambil inisiatif. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan kembalinya kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat, dan munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis. Infiltrasi sikap yang terjadi pada kekuatan baru adalah karena mereka terpengaruh sistem yang memang diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan mudah.
Selain hal tersebut, kurang memadainya pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan belum munculnya artikulator-artikulator politik baru yang dapat mempengaruhi sirkulasi elit politik Indonesia. Gerakan mahasiswa, kalangan organisasi non-pemerintah, dan kelas menengah politik yang ”mengambang” lainnya terfragmentasi. Mereka gagal membangun aliansi yang efektif dengan sektor-sektor lain di kelas menengah. Kelas menengah itu sebagian besar masih merupakan lapisan sosial yang berwatak anti-politik produk Orde Baru. Dengan demikian, perlawanan para reformis akhirnya sama sekali tidak berfungsi di tengah-tengah situasi ketika hampir seluruh elit politik merampas demokrasi. Lebih lanjut, gerakan mahasiswa yang pada awal reformasi 1997-1998 sangatlah kuat, kini sepertinya sudah kehilangan roh perjuangan melawan pemerintahan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh berbedanya situasi politik, tetapi juga tingkat apatisme yang tinggi yang disebabkan oleh depolitisasi lewat berbagai kebijakan di bidang pendidikan. Mulai dari mahalnya uang kuliah yang menyebabkan mahasiswa dituntut untuk segera lulus. Hingga saringan masuk yang menyebabkan hanya orang kaya yang tidak peduli dengan politik.
Akibat dari hal tersebut, representasi keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia publik pun menjadi minim. Demokrasi yang terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya bisa dilihat sebagai demokrasi elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi para elit. Rakyat hanya sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit yang sebaiknya memerintah masyarakat.
Memilih Demokrasi untuk Indonesia
Pertanyaan yang muncul dari kemudian adalah,”Lantas, jika reformasi 1998 juga belum dapat menentukan bagaimana model demokrasi yang cocok bagi Indonesia, apakah demokrasi memang tidak cocok bagi Indonesia?”. Menanggapi pertanyaan diatas, penulis perlu menekankan untuk memisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik dengan demokrasi sebagai sebuah nilai. Demokrasi adalah sebuah nilai yang memberikan kebebasan dan partisipasi masyarakat. Dengan demokrasi, para warga negara dapat dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Idealismenya, setiap individu berhak menentukan segala hal yang dapat mempengaruhi kehidupannya, baik dalam kehidupan personal maupun sosial. Selain itu, demokrasi juga adalah cara yang efektif untuk mengontrol kekuasaan agar tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang.
Penulis melihat bahwa masa transisi di Indonesia yang masih belum menunjukan kehidupan demokrasi yang baik lebih dikarenakan negara hukum yang menjadi landasan Indonesia belum dapat mengkonsolidasikan demokrasi. Persyaratan untuk menuju konsolidasi demokrasi akhirnya memang sangat bertumpu pada proses reformasi hukum. Hukum harus diciptakan untuk memberikan jaminan berkembangnya masyarakat sipil dan masyarakat politik yang otonom, masyarakat ekonomi yang terlembagakan, dan birokrasi yang mampu menopang pemerintahan yang demokratis. Hukum harus dikembangkan untuk memperkuat masyarakat sipil (civil society) agar mampu menghasilkan alternatif-alternatif politik dan mampu mengontrol dan memantau pemerintah dan negara ketika menjalankan kekuasaannya.
Oleh karena itu, penulis melihat masih ada harapan bagi Indonesia di masa yang akan datang. Walaupun banyak yang skeptis bahwa masa depan politik di Indonesia akan menuju kearah yang lebih baik. Namun perkembangan yang terjadi belakangan ini dapat dijadikan setitik harapan bagi masa depan Indonesia. Yang perlu dicatat adalah jangan sampai kita terjebak dalam demokrasi prosedural saja dan melupakan ketertinggalan masyarakat secara ekonomi maupun sosial. Masalah-masalah sosial yang secara jelas mengancam integrasi bangsa ini dan juga berbagai kasus kelaparan harulah cepat diselesaikan. Seiring dengan perbaikan sistem politik dan juga aktor-aktor yang terlibat didalamnya.
Demokrasi dan Demokrasi Liberal
Demokrasi merupakan salah satu konsep paling kontroversial dan penuh perdebatan dalam teori politik. Ini sangat wajar karena sejak dilontarkan pada era Yunani kuno sampai sekarang, tiada definisi tunggal yang bisa menjelaskan makna demokrasi secara memadai. Ada usaha yang menarik dari UNESCO tatkala ingin menjelaskan cita-cita demokrasi pasca Perang Dunia II. Untuk mencari definisi yang bisa disepakati semua pihak, badan ini lantas menugaskan sekelompok sarjana untuk mereview berbagai literatur yang memberikan penjelasan tentang demokrasi. Di dalam laporan mereka, Democracy in a World of Tensons, UNESCO, Paris, 1951, para sarjana itu harus mengakui kegagalannya. Ada begitu banyak definisi dan teori yang bertentangan dan mustahil untuk mencapai kesepakatan (Adams, 2004: 74).
Meski telah disebarkan secara global, namun demokrasi tetap merupakan konsep yang ambigu, terbuka pada banyak interpretasi. Begitu banyak defenisi yang dilekatkan padanya, sehingga ia dapat digolongkan sebagai konsep yang secara esensial diperebutkan. Tidak ada pengertian yang netral terhadapnya, karena sejatinya, setiap definisi memiliki ikatan sosial dan politiknya masing-masing dan beroperasi dalam perspektif sosial dan politis tertentu. Di pentas studi ilmu politik dewasa ini, demokrasi liberal (elektoral-prosedural) telah memenangi pertarungan pemaknaan tentang konsep demokrasi. Demokrasi prosedural meraih kemenangannya pada tahun 1970-an setelah berhasil menggeser pemahaman subtantifis demokrasi. Pemahaman subtantifis demokrasi lebih menekankan pemaknaan demokrasi pada sisi utopia dan ideal, yang mengadvokasi nilai-nilai kesetaraan dalam berdemokrasi (Mas’oed, 1999: 8).
Namun, setelah pemahaman ini digusur oleh model demokrasi prosedural, pemaknaan demokrasi lantas lebih terfokus pada persoalan penciptaan prosedur dan berbagai aturan main dalam pemilu. Pemilu multipartai dikatakan sebagai esensi demokrasi, sementara kompetisi melalui pemilu diletakkan sebagai upaya inti untuk menggobalkan demokrasi. Perhatian pada pemilu ini digambarkan melalui definisi Huntington tentang demokrasi yakni “apabila pembuat kebijakan yang paling kuat dipilih dalam pemilu yang periodik, jujur, dan adil, manakala kandidat dapat secara bebas bersaing merebut suara dan hampir semua penduduk dewasa bisa memberikan suaranya. Demokrasi (elektoral) memberikan “jaminan kebebasan tak tertandingi oleh sistem politik manapun” (Diamond, 2003:3)
Akar-akar intelektual tentang definisi kontemporer ihwal demokrasi dapat ditemukan melalui tulisan Joseph Schumpeter. Mengikuti rumusan Schumpeter, demokrasi adalah metode politik. Demokrasi sebagai metode demokratik tak lain merupakan “pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana berbagai individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan. Bagi Schumpeter, apa yang disebut para teoritisasi klasik, seperti Jean Jacques Rousseau, sebagai “kehendak rakyat” sebenarnya hanyalah hasil dari proses politik, bukan ruh, semangat, atau motor penggeraknya (Mas’oed, 1999: 8).
Demokrasi, tutur Schumpeter, tidak berarti dan tidak boleh berarti rakyat berkuasa secara aktual, sebagaimana mestinya dalam himpunan istilah “rakyat” dan “kekuasaan”. Dengan kata lain, demokrasi hanya mengandung arti: rakyat mempunyai peluang untuk menolak atau menerima elit-elit yang akan memerintah mereka melalui pemilu. Dengan nada yang agak arogan, Schumpeter menyebut demokrasi sebagai kekuasaan politisi (the rule of politician) (Abrahamsen, 2000: 114).
Pengertian ini menggiring pada pemaknaan reduksionis terhadap demokrasi: peran dan partisipasi rakyat dalam pemilu semata-mata bertujuan melahirkan elit-elit politik yang akan memegang tampuk kekuasaan, entah itu berketapan hati untuk menjalankan kehendak rakyat ataupun tidak. Hak pilih yang semestinya diikuti oleh hak kontrol secara kolektif sebagai manifestasi kekuasaan rakyat, lantas menjadi sekedar hak menumpuk kertas suara yang diakumulasi panitia pemilu guna melegitimasi para elit terpilih. Itu saja.
Pengertian demokrasi prosedural dalam literatur politik maenstream semakin diteguhkan Max Weber tatkala ia mengintrodusir teori elitisme demokrasi. Bagi Weber, demokrasi merupakan upaya penciptaan kepemimpinan politik efektif dalam masyarakat birokratis modern. Kondisi itu baru tercipta jika para pemilih (rakyat) hanya memiliki sedikit pengaruh dalam pengambilan kebijakan. Dalam istilah Weber, demokrasi modern butuh “keengganan rakyat” (sollousness of masses) dan juga butuh pembelahan warga menjadi “kelompok yang pasif dan aktif secara politik (politically passive and politically active elements) (Abrahamsen, 2004: 114).
“Keengganan rakyat” dibutuhkan dalam pengertian bahwa kontrol terhadap demokrasi serta partisipasi dianggap tidak bisa tercapai dan tidak realistis. Karena itu, teori ini mengakui bahwa demokrasi akan bekerja dengan sempurna tatkala di dalamnya masyarakat secara umum tidak berpartisipasi secara aktif dalam setiap pengambilan kebijakan. Selain itu, apatisme tidak dilihat sebagai hal buruk, malahan justru menjadi petunjuk bagi tingginya tingkat derajat kepercayaan terhadap pemimpin politik dan merupakan tanda kepuasan dasar dari pemilih dan cerminan “sehatnya demokrasi”.
Beberapa teori melangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa apatisme sangat positif dan berfungsi bagi stabilitas sistem demokrasi dan menjadi “pertanda adanya pengertian dan toleransi terhadap keragaman manusia”. Ini jelas mengacu pada negara-negara demokrasi liberal, seperti Amerika, di mana partisipasi politik dalam pemilu di sana sangat rendah. Yang ditekankan oleh teori politik maenstream ini adalah bahwa sistem demokrasi politik diperlukan sepanjang tidak menghalangi manifestasi kebebasan individu. Demokrasi hanyalah sebatas alat untuk mencapai tujuan, yakni memaksimumkan kebebasan individu. Menurut garis liberal, demokrasi merupakan sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu untuk menunaikan pilihan dalam transaksi pasar dan menjamin terkikisnya kekerasan politik sehingga memungkinkan tertampungnya beragam aspirasi melalui pemilu, bukannya menggugah partisipasi secara luas dalam pengambilan kebijakan politik.
Tesis demokrasi liberal ini telah melenceng dari gagasan-gagasan awal demokrasi yang mensyaratkan pentingnya partisipasi dalam pembangunan diri dan komunitas warga negara, sebagaimana rumusan Rousseau, yang masyhur dengan teori kontrak sosialnya. Dalam rumusan Rousseau, kehendak umum, melalui partisipasi luas, akan menjadi kebenaran kehendak dari masing-masing-masing warga negara, dan berkebalikan dengan kehendak “private” atau kehendak yang egois (Heywood,1988:72) . Fungsi partisipasi dalam alam demokrasi juga menjadi penegasan John Stuart Mill. Tuturnya, tanpa partisipasi nyaris semua semua orang ditelan ragam kepentingan pribadi dan pemuasan kebutuhan pribadi mereka sendiri.
Wacana politik maenstream yang mengekang partisipasi publik dalam proses pembangunan serta pembuatan dan kontrol kebijakan publik, senyatanya merupakan upaya mengekang kehendak rakyat akan perbaikan keadilan sosial, memangkas harapan peningkatan kesejahteraan dan ragam kebutuhan subtantif lain. Pendekatan demokrasi liberal lebih menekankan pada penciptaan hak-hak formal, persamaan dihadapan hukum, dan lahirnya stabilitas politik. Jadi, menurut kaum liberalis, tak relevan melekatkan isu ketimpangan ekonomi dan keadilan sosial dengan demokrasi. Dalam banyak literatur kontemporer, selanjutnya, demokrasi tidak bertemali dengan strategi dan struktur ekonomi; atau dalam bahasa Diamond et.al (Abrahamsen:2004), a political system, separate apart to the economic system to wich it is joined…sejenis sistem politik yang berjarak dan berpisah dengan sistem ekonominya. Hak-hak subtantif warga negara lantas tergusur oleh agenda formal demokrasi.
Dengan paparan tersebut di atas, muncul suatu pertanyaan di mana posisi masyarakat sipil (civil society) yang tumbuh berkembang mengikuti arus demokratisasi di dunia ketiga? Dalam rumusan demokrasi liberal, masyarakat sipil muncul sebagai mata rantai kunci antara demokrasi dengan liberalisme ekonomi. Cara terbaik untuk memperkuat masyarakat sipil adalah dengan mengurangi peran negara dan memperluas wilayah kekuatan pasar seperti anjuran program penyesuaian struktural (structural adjusment program)[1]. Perserikatan sosial yang bisa mengurus pelayanan sosial dan ekonominya secara mandiri di hadapan negara adalah konsepsi masyarakat sipil yang demokratis dan partisipatif. Di sisi lain, pembatasan negara atas peran ekonomi dan pelayanan sosial adalah suatu proyek perluasan demokrasi.
Jika demokrasi liberal tidak mempedulikan partisipasi masyarakat dalam meraih hak-hak politik—selain kebebasan individu untuk memilih dalam pemilu—, mendapatkan jaminan sosial, dan hak perbaikan ekonomi mereka sebagaimana dibutuhkan oleh mayoritas masyarakat dunia ketiga, di mana relevansi demokrasi liberal dengan pembangunan negara berkembang?
Praktek demokrasi liberal di negara dunia ketiga
Mengikuti rentetan argumentasi demokrasi liberal secara total jelas akan menghadirkan problematika tersendiri, terutama bagi kebanyakan dunia ketiga, tak terkecuali Indonesia. Sebagai contoh, studi Sorensen (1993, dalam Syihabuddin, 2004) telah menunjukkan bahwa India merupakan salah satu negara terbesar di Selatan yang paling stabil dalam melaksanakan demokrasi elektroral. Namun, tidak ada perubahan kesejahteraan pada 40% masyarakat India akibat kemiskinan akut, dengan ratusan ribu penduduk mati tiap tahunnya karena parahnya kekurangan gizi dan kelaparan.
Sebagai negara yang konsisten menjalankan demokrasi selama 50 tahun, tetap saja tak mampu menjawab keterpurukan masyarakat India yang tak kurang dari 20.000 orang tiap harinya mengidap Tubercolosis dan mengakibatkan sekira 450.000 dari mereka mati tiap tahunnya
Pemaparan yang sangat menarik dilakukan oleh Abrahamsen (2004) dengan mendedahkan praktek good governance—anak kandung demokrasi liberal yang bertugas meliberalisasi struktur pemerintahan negara dunia ketiga—di Afrika. Dengan memotret tumbuhnya kembali demokrasi dan hadirnya harapan masa depan cerah dari masyarakat beberapa negara Afrika seperti Zambia, Pantai Gading, Ghana, dan Kenya, Abrahamsen sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi liberal yang bergeliat dibalik kerja good governance gagal total memenuhi janji-janjinya.
Kemenangan demokrasi liberal hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit dan kelas menengah yang mampu terserap dalam struktur politik demokratis dan lembaga-lembaga donor dan kreditor global yang menggelontorkan bantuan pembangunan dengan kompensasi terintegrasinya Afrika dengan pasar bebas dunia. Bagi mayoritas masyarakat miskin di Afrika, demokratisasi hanya melahirkan penderitaan dan kemiskinan yang lebih parah. Hal ini yang menyebabkan beragam kerusuhan dan instabilitas sosial yang menjangkiti banyak negara di Afrika Sub Sahara.
Bagaimana dengan Indonesia? Semenjak reformasi politik begulir di negeri ini, liberalisasi politik—melalui jargon good governance—yang bergerak maju bersama liberalisme ekonomi telah mempercantik paras stuktur politik Indonesia dengan berbagai kebijakan seperti pemilu langsung dan desentralisasi politik. Devolusi kekuasaan ini secara telak menyebarkan kekuasaan ke daerah-daerah untuk menjauhi pusat. Kebijakan ini merupakan rute pertama untuk mempreteli kekuasaan pemerintah pusat dan “mendekatkannya” kepada masyarakat di berbagai daerah.
Ada denyut demokrasitisasi dalam kebijakan ini, dan sangat positif bagi perkembangan daerah-daerah yang telah begitu lama dibekap sentralisme pusat. Namun jika tidak dikawal secara menyeluruh oleh berbagai elemen sipil, maka pembajakan lembaga-lembaga demokrasi secara “demokratis” oleh para elit predator (Hadiz, 2003) akan terjadi di berbagai daerah. Rakyat hanya akan menjadi korban dari gurita kekuasaan local bossism (Safirani: 2004) yang bergandengan tangan dengan pihak pemodal domestik dan asing untuk menguasai beragam sektor ekonomi.
Kebijakan desentralisasi ini berbarengan dengan desakan lembaga donor dan kreditor internasional melalui “program penyesuaian struktural” terhadap negara untuk segera melepas berbagai unit bisnis yang dikuasainya. Semenjak 1998 terdapat 16 BUMN yang siap dilepas ke publik—sangat besar kemungkinan jatuh ke tangan asing—seperti PT. Indosat. Jika program privatisasi BUMN di tengah masa krisis ekonomi—pasti harga-harga BUMN pada jatuh—ini dijalankan serampangan dan menyeluruh—sebagaimana diinginkan secara segera oleh pihak asing dan beberapa pengusaha Indonesia—maka yang bakalan terjadi terjadi adalah “rampokisasi” BUMN oleh kalangan swasta, terutama pemodal besar Internasional (Baswir, 2003: 205-226).
Indonesia sebagai negara yang sedang “belajar” menjalankan sistem demokrasi telah melangkah jauh. Hak-hak formal masyarakat dalam berpolitik telah dijamin dengan munculnya pemilu langsung, baik di level pusat maupun daerah-daerah. Tak bisa dipungkiri, ada perubahan signifikan pada penjaminan hak asasi manusia, terbukanya “kran-kran” partisipasi dan kontrol publik, dan seterusnya.
Namun, problem kesejahteraan yang akut di kalangan rakyat masih belum terpecahkan oleh sistem baru ini. Rakyat masih saja (bahkan) tergeser dari skala prioritas pemberdayaan negara. Apresiasi terhadap masyarakat lokal, misalnya, bukanlah pemberdayaan subtantif yang tulus terhadap setiap warganegara atas hak-hak sosial dan ekonomi mereka, namun hanyalah upaya untuk meliberalisasi komunitas lokal itu sehingga kian adaptif dan terintegrasi ke dalam sistem pasar. Jika tidak berhati-hati melangkah dan bersiasat menyikapi “kontrol” kekuatan suprastate, maka demokratisasi dan good governance hanya menjadi jargon kosong bagi pemberdayaan masyarakat. Kondisi semacam ini bisa diusung sebagai refleksi betapa demokrasi liberal-prosedural bukanlah corak demokrasi yang dibutuhkan rakyat yang begitu merana akibat himpitan kemiskinan dan keterbelakangan. Demokrasi jenis ini hanya bisa dinikmati segolongan elit yang memiliki akses untuk turut bermain di dalamnya. Rakyat kebanyakan, dengan segala ketimpangannya, hanya bisa berdiri di luar sistem dan tak mampu memanfaatkan demokrasi jenis ini untuk melakukan perubahan yang berarti bagi diri mereka sendiri.
Kekhawatiran munculnya ragam ketimpangan yang tak pernah dijawab oleh kalangan demokrasi liberal direkam oleh Bentham (Abrahamsen:2000) bahwa persoalan demokrasi representatif bukanlah pada pembatasannya terhadap aktivitas untuk memilih dalam pemilu, namun lebih pada tipisnya peluang untuk bisa terlibat dan mempengaruhi kebijakan, karena peluang itu akan sangat tergantung pada pelbagai sumberdaya, terutama uang, waktu, dan tingkat pendidikan. Kesemuanya itu jelas tidak merata di negara-negara selatan, termasuk Indonesia.
Argumentasi yang diajukan oleh tulisan ini tidak hendak meremehkan potensi demokrasi liberal sebagai tawaran ideologi yang penting bagi penataan sistem pemerintahan, seperti penyesahatan birokrasi yang sangat gemuk dan korup, mentalitas “perampok” para pejabat, penjaminan hak-hak formal warga negara, dan seterusnya. Namun, tulisan ini berupaya untuk melawan penyepelean demokrasi liberal terhadap hak-hak sosial-ekonomi dalam praktek politiknya. Nalar yang dibangun demokrasi liberal jelas mengabaikan semangat transformasi ekonomi-sosial-politik melalui pembatasan hak partisipasi rakyat oleh kokohnya kekuasaan elit politik dan dominasi kaum pemodal, yang disebut Bill Liddle, ‘power behind the throne..kekuasaan di balik singgasana. Kaum pemodal global inilah yang kerap menentukan hitam-putihnya kebijakan penguasa politik suatu negara, termasuk Indonesia.
Demokrasi Deliberative: Satu Agenda Aksi
Dalam perkembangannya, mekanisme politik representasi ala liberal tampak tak efektif lagi dalam merengkuh ide pokok demokrasi: memfasilitasi keterlibatan aktif warganegara, mendorong konsensus politik melalui dialog, merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan publik akan suatu ekonomi produktif dan kesehatan masyarakat, dan, dalam versi ide demokrasi yang lebih radikal dalam hal kesetaraan: menjamin tersebarnya kekayaan negara kepada semua warga (Fung & Wright:1999).
Tentu sistem politik yang mampu bekerja melaksanakan ide-ide demokratik semacam itu bukan datang dari demokrasi liberal, yang justru mengesampingkan arti penting partisipasi, pelayanan sosial dan pemberdayaan ekonomi warganya. Di akhir tulisan ini, akan direfleksikan satu gagasan radikal: mengembangkan suatu strategi demokrasi tranformatif yang mampu memecahkan persoalan fundamental masyarakat, terutama di negara berkembang. Satu model pengembangan demokrasi telah menjadi tawaran baru bagi sistem pemerintahan dan model perumusan kebijakan di suatu daerah atau negara.
Demokrasi model ini meyakini bahwa demokrasi merupakan suatu proses transformatif yang memungkinkan masyarakat dan pengambil kebijakan terlibat dalam partisipasi yang alami (genuin deliberation) untuk menentukan berbagai kebijakan (Farrelly, 2004). Demokrasi ini juga mengadvokasi munculnya partisipasi dalam demokrasi, kolaborasi antar stakeholders dalam proses policymaking, dan pengelolaan pemerintahan berbasis dialog yang sehat (Hajer and Wagenar,edt., 2003).
Demokrasi deliberative telah diujicobakan di beberapa negara untuk memampukan masyarakat sehingga turut terlibat dalam berbagai kebijakan yang langsung berhubungan dengan mereka. Misalnya kasus parcipatory budgeting di Porto Alegre Brazil, yang memungkinkan warga kota untuk merumuskan anggaran daerah dan sekaligus mengontrol penggunaannya. Juga The Panchayat Reform di West Bengal, India, di mana masyarakat mampu menciptakan saluran demokratik, baik langsung atau perwakilan, yang bertanggung jawab atas kekuasaan administratif dan perpajakan bagi warga pedesaan. Atau juga misalnya keberhasilan program Habitat Concervation Planning di beberapa negara dengan melibatkan banyak warganya (Fung and Wright, 1999).
Tantangan Indonesia hari ini tidak semata ada pada pembenahan sistem rekrutmen anggota lembaga perwakilan. Lebih dari itu, tantangan krusialnya justru terletak pada sejauh mana demokrasi perwakilan itu sendiri dapat beresonansi dengan pertimbangan dan partisipasi publik secara luas (deliberative democracy), termasuk yang terkait dengan medium-medium aspirasi dan partisipasi masyarakat yang bersifat informal.
Langganan:
Postingan (Atom)