Kamis, 01 April 2010

KEWARGANEGARAAN INDONESIA

Kewarganegaraan
Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (citizenship). Di dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (nationality). Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara.
kewarganegaraan Indonesia
Kewarganegaraan Republik Indonesia
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia . Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia . Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah
1.setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
4.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
5.anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6.anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7.anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
8.anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9.anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah megara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
10.anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11.anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
12.anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
1.anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2.anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3.anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4.anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
1.Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia , yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2.Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.


 
 

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1].
WARGANEGARA DAN KEWARGANEGARAAN
Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.
Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia .
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan. Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja. Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena kelahiran atau ‘citizenship by birth’, (ii) kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau ‘citizenship by naturalization’, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau ‘citizenship by registration’. Ketiga cara ini seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja sebagaimana lazim dipahami selama ini.
Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia. Keturunan mereka ini dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia.
Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa.
Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip ‘ius soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’ sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus ‘stateless’ tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.
Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali.
KEWARGANEGARAAN ORANG ‘CINA’ PERANAKAN
Orang-orang ‘Cina’ peranakan yang tinggal menetap turun temurun di Indonesia, sejak masa reformasi sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang ‘Cina’, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan ‘Cina’ dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Manado, Cina, dan lain sebagainya.
Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan ‘Tionghoa’ di tengah masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Akan tetapi, saya sendiri tidak begitu ‘sreg’ dengan sebutan ‘Tionghoa’ itu untuk dinisbatkan kepada kelompok masyarakat Indonesia keturunan ‘Cina’. Secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah ‘Tionghoa’ itu malah lebih ‘distingtif’ atau lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan ‘Cina’ dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi, pengertian dasar istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri terdengar lebih tinggi posisi dasarnya atau bahkan terlalu tinggi posisinya dalam berhadapan dengan kelompok masyarakat di luar keturunan ‘Cina’. ‘Tiongkok’ atau ‘Tionghoa’ itu sendiri mempunyai arti sebagai negara pusat yang di dalamnya terkandung pengertian memperlakukan negara-negara di luarnya sebagai negara pinggiran. Karena itu, penggantian istilah ‘Cina’ yang dianggap cenderung ‘merendahkan’ dengan perkataan ‘Tionghoa’ yang bernuansa kebanggaan bagi orang ‘Cina’ justru akan berdampak buruk, karena dapat menimbulkan dampak psikologi bandul jam yang bergerak ekstrim dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Di pihak lain, penggunaan istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri juga dapat direspons sebagai ‘kejumawaan’ dan mencerminkan arogansi cultural atau ‘superiority complex’ dari kalangan masyarakat ‘Cina’ peranakan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Anggapan mengenai adanya ‘superiority complex’ penduduk keturunan ‘Cina’ dipersubur pula oleh kenyataan masih diterapkannya sistem penggajian yang ‘double standard’ di kalangan perusahaan-perusahaan keturunan ‘Cina’ yang mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari etnis ‘Cina’. Karena itu, penggunaan kata ‘Tionghoa’ dapat pula memperkuat kecenderungan ekslusivisme yang menghambat upaya pembauran tersebut.
Oleh karena itu, mestinya, reformasi perlakuan terhadap masyarakat keturunan ‘Cina’ dan warga keturunan lainnya tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penggantian istilah semacam itu. Yang lebih penting untuk dikembangkan adalah pemberlakuan sistem hukum yang bersifat non-diskriminatif berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, diiringi dengan upaya penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, dan didukung pula oleh ketulusan semua pihak untuk secara sungguh-sungguh memperdekat jarak atau gap social, ekonomi dan politik yang terbuka lebar selama ini. Bahkan, jika mungkin, warga keturunanpun tidak perlu lagi menyebut dirinya dengan etnisitas yang tersendiri. Misalnya, siapa saja warga keturunan yang lahir di Bandung, cukup menyebut dirinya sebagai orang Bandung saja, atau lebih ideal lagi jika mereka dapat mengidentifikasikan diri sebagai orang Sunda, yang lahir di Madura sebut saja sebagai orang Madura. Orang-orang keturunan Arab yang lahir dan hidup di Pekalongan juga banyak yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Pekalongan saja, bukan Arab Pekalongan.
Proses pembauran itu secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya apabila medan pergaulan antar etnis makin luas dan terbuka. Wahana pergaulan itu perlu dikembangkan dengan cara asimiliasi, misalnya, melalui medium lembaga pendidikan, medium pemukiman, medium perkantoran, dan medium pergaulan social pada umumnya. Karena itu, di lingkungan-lingkungan pendidikan dan perkantoran tersebut jangan sampai hanya diisi oleh kalangan etnis yang sejenis. Lembaga lain yang juga efektif untuk menyelesaikan agenda pembauran alamiah ini adalah keluarga. Karena itu, perlu dikembangkan anjuran-anjuran dan dorongan-dorongan bagi berkembangnya praktek perkawinan campuran antar etnis, terutama yang melibatkan pihak etnis keturunan ‘Cina’ dengan etnis lainnya. Jika seandainya semua orang melakukan perkawinan bersilang etnis, maka dapat dipastikan bahwa setelah satu generasi atau setelah setengah abad, isu etnis ini dan apalagi isu rasial, akan hilang dengan sendirinya dari wacana kehidupan kita di persada nusantara ini.
PEMBARUAN UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN
Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan. Dalam hukum Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan bukan sebagai warganegara Indonesia.
Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara Republik Indonesia itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi warganegara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap sebagai warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi warganegara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami dalam konteks pengertian ‘Warga Negara Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hukum dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah menyandang status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini.


[1] Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia .
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Kewarganegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar