DEMOKRASI INDONESIA
A. Demokrasi dan implementasi
pertama,hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditujukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebih dari 100sarjana Barat dan Timur,sementara di negara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda (kendati sama-sama negara demokrasi).
Kedua, demokrasi sebagai asa kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi itu berjalan dalam jalur yang berbeda-beda.
Dalam hubungannya dengan implementasikedalam sistem pemerintahan,demokrasi juga melahirkan sistem yang bermacam-macam seperti:pertama, sistem presidensial yang menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan memberi dua kedudukan kepada presiden yakni sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.kedua,sistem parlementer yang meletakkan pemerintah dipimpin oleh perdanamentri yang hanya berkedudukan sebagai kepala pemerintahan dan bukan kepala negara,sebab kepala negaranya bisa diduduki oleh raja atau presiden yang hanya menjasi simbol kedaulatan dan persatuan.ketiga,sistem referendum yang meletakkan pemerintah sebagai bagian (badan pekerja)dari parlemen.di beberapa negara ada yang menggunakan sistem campuran antara presidensial dengan parlementer, yang antara lain dapat dilihat sistem ketatanegaraan di prancis atau di indonesia berdasar UUD 1945.
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang pemilu
B. Arti dan perkembangan demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Sejarah dan Perkembangan Demokrasi
Isitilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
Diskursus demokrasi di Indonesia tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya.
Dipasungnya demokrasi di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem politik di Indonesia pada tahun 1997. Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tulisan ini berusaha menguraikan lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu pragmatisme politik. Selain itu di akhir, penulis akan berupaya menjawab pilihan demokrasi yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Munculnya Kekuatan Politik Baru yang Pragmatis
Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan yang panjang oleh mahasiswa, rakyat dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak mengarah ke perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata kita bisa melihat perubahan yang sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi era penuh keterbukaan. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di masyarakat tidak kunjung berubah dikarenakan adanya kalangan oposisi elit yang menguasai berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi dengan sistem yang korup dan kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir tidak ada satu pun elit lama berhaluan reformis yang berhasil memegang posisi-posisi kunci untuk mengambil inisiatif. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan kembalinya kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat, dan munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis. Infiltrasi sikap yang terjadi pada kekuatan baru adalah karena mereka terpengaruh sistem yang memang diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan mudah.
Selain hal tersebut, kurang memadainya pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan belum munculnya artikulator-artikulator politik baru yang dapat mempengaruhi sirkulasi elit politik Indonesia. Gerakan mahasiswa, kalangan organisasi non-pemerintah, dan kelas menengah politik yang ”mengambang” lainnya terfragmentasi. Mereka gagal membangun aliansi yang efektif dengan sektor-sektor lain di kelas menengah. Kelas menengah itu sebagian besar masih merupakan lapisan sosial yang berwatak anti-politik produk Orde Baru. Dengan demikian, perlawanan para reformis akhirnya sama sekali tidak berfungsi di tengah-tengah situasi ketika hampir seluruh elit politik merampas demokrasi. Lebih lanjut, gerakan mahasiswa yang pada awal reformasi 1997-1998 sangatlah kuat, kini sepertinya sudah kehilangan roh perjuangan melawan pemerintahan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh berbedanya situasi politik, tetapi juga tingkat apatisme yang tinggi yang disebabkan oleh depolitisasi lewat berbagai kebijakan di bidang pendidikan. Mulai dari mahalnya uang kuliah yang menyebabkan mahasiswa dituntut untuk segera lulus. Hingga saringan masuk yang menyebabkan hanya orang kaya yang tidak peduli dengan politik.
Akibat dari hal tersebut, representasi keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia publik pun menjadi minim. Demokrasi yang terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya bisa dilihat sebagai demokrasi elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi para elit. Rakyat hanya sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit yang sebaiknya memerintah masyarakat.
Memilih Demokrasi untuk Indonesia
Pertanyaan yang muncul dari kemudian adalah,”Lantas, jika reformasi 1998 juga belum dapat menentukan bagaimana model demokrasi yang cocok bagi Indonesia, apakah demokrasi memang tidak cocok bagi Indonesia?”. Menanggapi pertanyaan diatas, penulis perlu menekankan untuk memisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik dengan demokrasi sebagai sebuah nilai. Demokrasi adalah sebuah nilai yang memberikan kebebasan dan partisipasi masyarakat. Dengan demokrasi, para warga negara dapat dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Idealismenya, setiap individu berhak menentukan segala hal yang dapat mempengaruhi kehidupannya, baik dalam kehidupan personal maupun sosial. Selain itu, demokrasi juga adalah cara yang efektif untuk mengontrol kekuasaan agar tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang.
Penulis melihat bahwa masa transisi di Indonesia yang masih belum menunjukan kehidupan demokrasi yang baik lebih dikarenakan negara hukum yang menjadi landasan Indonesia belum dapat mengkonsolidasikan demokrasi. Persyaratan untuk menuju konsolidasi demokrasi akhirnya memang sangat bertumpu pada proses reformasi hukum. Hukum harus diciptakan untuk memberikan jaminan berkembangnya masyarakat sipil dan masyarakat politik yang otonom, masyarakat ekonomi yang terlembagakan, dan birokrasi yang mampu menopang pemerintahan yang demokratis. Hukum harus dikembangkan untuk memperkuat masyarakat sipil (civil society) agar mampu menghasilkan alternatif-alternatif politik dan mampu mengontrol dan memantau pemerintah dan negara ketika menjalankan kekuasaannya.
Oleh karena itu, penulis melihat masih ada harapan bagi Indonesia di masa yang akan datang. Walaupun banyak yang skeptis bahwa masa depan politik di Indonesia akan menuju kearah yang lebih baik. Namun perkembangan yang terjadi belakangan ini dapat dijadikan setitik harapan bagi masa depan Indonesia. Yang perlu dicatat adalah jangan sampai kita terjebak dalam demokrasi prosedural saja dan melupakan ketertinggalan masyarakat secara ekonomi maupun sosial. Masalah-masalah sosial yang secara jelas mengancam integrasi bangsa ini dan juga berbagai kasus kelaparan harulah cepat diselesaikan. Seiring dengan perbaikan sistem politik dan juga aktor-aktor yang terlibat didalamnya.
Demokrasi dan Demokrasi Liberal
Demokrasi merupakan salah satu konsep paling kontroversial dan penuh perdebatan dalam teori politik. Ini sangat wajar karena sejak dilontarkan pada era Yunani kuno sampai sekarang, tiada definisi tunggal yang bisa menjelaskan makna demokrasi secara memadai. Ada usaha yang menarik dari UNESCO tatkala ingin menjelaskan cita-cita demokrasi pasca Perang Dunia II. Untuk mencari definisi yang bisa disepakati semua pihak, badan ini lantas menugaskan sekelompok sarjana untuk mereview berbagai literatur yang memberikan penjelasan tentang demokrasi. Di dalam laporan mereka, Democracy in a World of Tensons, UNESCO, Paris, 1951, para sarjana itu harus mengakui kegagalannya. Ada begitu banyak definisi dan teori yang bertentangan dan mustahil untuk mencapai kesepakatan (Adams, 2004: 74).
Meski telah disebarkan secara global, namun demokrasi tetap merupakan konsep yang ambigu, terbuka pada banyak interpretasi. Begitu banyak defenisi yang dilekatkan padanya, sehingga ia dapat digolongkan sebagai konsep yang secara esensial diperebutkan. Tidak ada pengertian yang netral terhadapnya, karena sejatinya, setiap definisi memiliki ikatan sosial dan politiknya masing-masing dan beroperasi dalam perspektif sosial dan politis tertentu. Di pentas studi ilmu politik dewasa ini, demokrasi liberal (elektoral-prosedural) telah memenangi pertarungan pemaknaan tentang konsep demokrasi. Demokrasi prosedural meraih kemenangannya pada tahun 1970-an setelah berhasil menggeser pemahaman subtantifis demokrasi. Pemahaman subtantifis demokrasi lebih menekankan pemaknaan demokrasi pada sisi utopia dan ideal, yang mengadvokasi nilai-nilai kesetaraan dalam berdemokrasi (Mas’oed, 1999: 8).
Namun, setelah pemahaman ini digusur oleh model demokrasi prosedural, pemaknaan demokrasi lantas lebih terfokus pada persoalan penciptaan prosedur dan berbagai aturan main dalam pemilu. Pemilu multipartai dikatakan sebagai esensi demokrasi, sementara kompetisi melalui pemilu diletakkan sebagai upaya inti untuk menggobalkan demokrasi. Perhatian pada pemilu ini digambarkan melalui definisi Huntington tentang demokrasi yakni “apabila pembuat kebijakan yang paling kuat dipilih dalam pemilu yang periodik, jujur, dan adil, manakala kandidat dapat secara bebas bersaing merebut suara dan hampir semua penduduk dewasa bisa memberikan suaranya. Demokrasi (elektoral) memberikan “jaminan kebebasan tak tertandingi oleh sistem politik manapun” (Diamond, 2003:3)
Akar-akar intelektual tentang definisi kontemporer ihwal demokrasi dapat ditemukan melalui tulisan Joseph Schumpeter. Mengikuti rumusan Schumpeter, demokrasi adalah metode politik. Demokrasi sebagai metode demokratik tak lain merupakan “pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana berbagai individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan. Bagi Schumpeter, apa yang disebut para teoritisasi klasik, seperti Jean Jacques Rousseau, sebagai “kehendak rakyat” sebenarnya hanyalah hasil dari proses politik, bukan ruh, semangat, atau motor penggeraknya (Mas’oed, 1999: 8).
Demokrasi, tutur Schumpeter, tidak berarti dan tidak boleh berarti rakyat berkuasa secara aktual, sebagaimana mestinya dalam himpunan istilah “rakyat” dan “kekuasaan”. Dengan kata lain, demokrasi hanya mengandung arti: rakyat mempunyai peluang untuk menolak atau menerima elit-elit yang akan memerintah mereka melalui pemilu. Dengan nada yang agak arogan, Schumpeter menyebut demokrasi sebagai kekuasaan politisi (the rule of politician) (Abrahamsen, 2000: 114).
Pengertian ini menggiring pada pemaknaan reduksionis terhadap demokrasi: peran dan partisipasi rakyat dalam pemilu semata-mata bertujuan melahirkan elit-elit politik yang akan memegang tampuk kekuasaan, entah itu berketapan hati untuk menjalankan kehendak rakyat ataupun tidak. Hak pilih yang semestinya diikuti oleh hak kontrol secara kolektif sebagai manifestasi kekuasaan rakyat, lantas menjadi sekedar hak menumpuk kertas suara yang diakumulasi panitia pemilu guna melegitimasi para elit terpilih. Itu saja.
Pengertian demokrasi prosedural dalam literatur politik maenstream semakin diteguhkan Max Weber tatkala ia mengintrodusir teori elitisme demokrasi. Bagi Weber, demokrasi merupakan upaya penciptaan kepemimpinan politik efektif dalam masyarakat birokratis modern. Kondisi itu baru tercipta jika para pemilih (rakyat) hanya memiliki sedikit pengaruh dalam pengambilan kebijakan. Dalam istilah Weber, demokrasi modern butuh “keengganan rakyat” (sollousness of masses) dan juga butuh pembelahan warga menjadi “kelompok yang pasif dan aktif secara politik (politically passive and politically active elements) (Abrahamsen, 2004: 114).
“Keengganan rakyat” dibutuhkan dalam pengertian bahwa kontrol terhadap demokrasi serta partisipasi dianggap tidak bisa tercapai dan tidak realistis. Karena itu, teori ini mengakui bahwa demokrasi akan bekerja dengan sempurna tatkala di dalamnya masyarakat secara umum tidak berpartisipasi secara aktif dalam setiap pengambilan kebijakan. Selain itu, apatisme tidak dilihat sebagai hal buruk, malahan justru menjadi petunjuk bagi tingginya tingkat derajat kepercayaan terhadap pemimpin politik dan merupakan tanda kepuasan dasar dari pemilih dan cerminan “sehatnya demokrasi”.
Beberapa teori melangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa apatisme sangat positif dan berfungsi bagi stabilitas sistem demokrasi dan menjadi “pertanda adanya pengertian dan toleransi terhadap keragaman manusia”. Ini jelas mengacu pada negara-negara demokrasi liberal, seperti Amerika, di mana partisipasi politik dalam pemilu di sana sangat rendah. Yang ditekankan oleh teori politik maenstream ini adalah bahwa sistem demokrasi politik diperlukan sepanjang tidak menghalangi manifestasi kebebasan individu. Demokrasi hanyalah sebatas alat untuk mencapai tujuan, yakni memaksimumkan kebebasan individu. Menurut garis liberal, demokrasi merupakan sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu untuk menunaikan pilihan dalam transaksi pasar dan menjamin terkikisnya kekerasan politik sehingga memungkinkan tertampungnya beragam aspirasi melalui pemilu, bukannya menggugah partisipasi secara luas dalam pengambilan kebijakan politik.
Tesis demokrasi liberal ini telah melenceng dari gagasan-gagasan awal demokrasi yang mensyaratkan pentingnya partisipasi dalam pembangunan diri dan komunitas warga negara, sebagaimana rumusan Rousseau, yang masyhur dengan teori kontrak sosialnya. Dalam rumusan Rousseau, kehendak umum, melalui partisipasi luas, akan menjadi kebenaran kehendak dari masing-masing-masing warga negara, dan berkebalikan dengan kehendak “private” atau kehendak yang egois (Heywood,1988:72) . Fungsi partisipasi dalam alam demokrasi juga menjadi penegasan John Stuart Mill. Tuturnya, tanpa partisipasi nyaris semua semua orang ditelan ragam kepentingan pribadi dan pemuasan kebutuhan pribadi mereka sendiri.
Wacana politik maenstream yang mengekang partisipasi publik dalam proses pembangunan serta pembuatan dan kontrol kebijakan publik, senyatanya merupakan upaya mengekang kehendak rakyat akan perbaikan keadilan sosial, memangkas harapan peningkatan kesejahteraan dan ragam kebutuhan subtantif lain. Pendekatan demokrasi liberal lebih menekankan pada penciptaan hak-hak formal, persamaan dihadapan hukum, dan lahirnya stabilitas politik. Jadi, menurut kaum liberalis, tak relevan melekatkan isu ketimpangan ekonomi dan keadilan sosial dengan demokrasi. Dalam banyak literatur kontemporer, selanjutnya, demokrasi tidak bertemali dengan strategi dan struktur ekonomi; atau dalam bahasa Diamond et.al (Abrahamsen:2004), a political system, separate apart to the economic system to wich it is joined…sejenis sistem politik yang berjarak dan berpisah dengan sistem ekonominya. Hak-hak subtantif warga negara lantas tergusur oleh agenda formal demokrasi.
Dengan paparan tersebut di atas, muncul suatu pertanyaan di mana posisi masyarakat sipil (civil society) yang tumbuh berkembang mengikuti arus demokratisasi di dunia ketiga? Dalam rumusan demokrasi liberal, masyarakat sipil muncul sebagai mata rantai kunci antara demokrasi dengan liberalisme ekonomi. Cara terbaik untuk memperkuat masyarakat sipil adalah dengan mengurangi peran negara dan memperluas wilayah kekuatan pasar seperti anjuran program penyesuaian struktural (structural adjusment program)[1]. Perserikatan sosial yang bisa mengurus pelayanan sosial dan ekonominya secara mandiri di hadapan negara adalah konsepsi masyarakat sipil yang demokratis dan partisipatif. Di sisi lain, pembatasan negara atas peran ekonomi dan pelayanan sosial adalah suatu proyek perluasan demokrasi.
Jika demokrasi liberal tidak mempedulikan partisipasi masyarakat dalam meraih hak-hak politik—selain kebebasan individu untuk memilih dalam pemilu—, mendapatkan jaminan sosial, dan hak perbaikan ekonomi mereka sebagaimana dibutuhkan oleh mayoritas masyarakat dunia ketiga, di mana relevansi demokrasi liberal dengan pembangunan negara berkembang?
Praktek demokrasi liberal di negara dunia ketiga
Mengikuti rentetan argumentasi demokrasi liberal secara total jelas akan menghadirkan problematika tersendiri, terutama bagi kebanyakan dunia ketiga, tak terkecuali Indonesia. Sebagai contoh, studi Sorensen (1993, dalam Syihabuddin, 2004) telah menunjukkan bahwa India merupakan salah satu negara terbesar di Selatan yang paling stabil dalam melaksanakan demokrasi elektroral. Namun, tidak ada perubahan kesejahteraan pada 40% masyarakat India akibat kemiskinan akut, dengan ratusan ribu penduduk mati tiap tahunnya karena parahnya kekurangan gizi dan kelaparan.
Sebagai negara yang konsisten menjalankan demokrasi selama 50 tahun, tetap saja tak mampu menjawab keterpurukan masyarakat India yang tak kurang dari 20.000 orang tiap harinya mengidap Tubercolosis dan mengakibatkan sekira 450.000 dari mereka mati tiap tahunnya
Pemaparan yang sangat menarik dilakukan oleh Abrahamsen (2004) dengan mendedahkan praktek good governance—anak kandung demokrasi liberal yang bertugas meliberalisasi struktur pemerintahan negara dunia ketiga—di Afrika. Dengan memotret tumbuhnya kembali demokrasi dan hadirnya harapan masa depan cerah dari masyarakat beberapa negara Afrika seperti Zambia, Pantai Gading, Ghana, dan Kenya, Abrahamsen sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi liberal yang bergeliat dibalik kerja good governance gagal total memenuhi janji-janjinya.
Kemenangan demokrasi liberal hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit dan kelas menengah yang mampu terserap dalam struktur politik demokratis dan lembaga-lembaga donor dan kreditor global yang menggelontorkan bantuan pembangunan dengan kompensasi terintegrasinya Afrika dengan pasar bebas dunia. Bagi mayoritas masyarakat miskin di Afrika, demokratisasi hanya melahirkan penderitaan dan kemiskinan yang lebih parah. Hal ini yang menyebabkan beragam kerusuhan dan instabilitas sosial yang menjangkiti banyak negara di Afrika Sub Sahara.
Bagaimana dengan Indonesia? Semenjak reformasi politik begulir di negeri ini, liberalisasi politik—melalui jargon good governance—yang bergerak maju bersama liberalisme ekonomi telah mempercantik paras stuktur politik Indonesia dengan berbagai kebijakan seperti pemilu langsung dan desentralisasi politik. Devolusi kekuasaan ini secara telak menyebarkan kekuasaan ke daerah-daerah untuk menjauhi pusat. Kebijakan ini merupakan rute pertama untuk mempreteli kekuasaan pemerintah pusat dan “mendekatkannya” kepada masyarakat di berbagai daerah.
Ada denyut demokrasitisasi dalam kebijakan ini, dan sangat positif bagi perkembangan daerah-daerah yang telah begitu lama dibekap sentralisme pusat. Namun jika tidak dikawal secara menyeluruh oleh berbagai elemen sipil, maka pembajakan lembaga-lembaga demokrasi secara “demokratis” oleh para elit predator (Hadiz, 2003) akan terjadi di berbagai daerah. Rakyat hanya akan menjadi korban dari gurita kekuasaan local bossism (Safirani: 2004) yang bergandengan tangan dengan pihak pemodal domestik dan asing untuk menguasai beragam sektor ekonomi.
Kebijakan desentralisasi ini berbarengan dengan desakan lembaga donor dan kreditor internasional melalui “program penyesuaian struktural” terhadap negara untuk segera melepas berbagai unit bisnis yang dikuasainya. Semenjak 1998 terdapat 16 BUMN yang siap dilepas ke publik—sangat besar kemungkinan jatuh ke tangan asing—seperti PT. Indosat. Jika program privatisasi BUMN di tengah masa krisis ekonomi—pasti harga-harga BUMN pada jatuh—ini dijalankan serampangan dan menyeluruh—sebagaimana diinginkan secara segera oleh pihak asing dan beberapa pengusaha Indonesia—maka yang bakalan terjadi terjadi adalah “rampokisasi” BUMN oleh kalangan swasta, terutama pemodal besar Internasional (Baswir, 2003: 205-226).
Indonesia sebagai negara yang sedang “belajar” menjalankan sistem demokrasi telah melangkah jauh. Hak-hak formal masyarakat dalam berpolitik telah dijamin dengan munculnya pemilu langsung, baik di level pusat maupun daerah-daerah. Tak bisa dipungkiri, ada perubahan signifikan pada penjaminan hak asasi manusia, terbukanya “kran-kran” partisipasi dan kontrol publik, dan seterusnya.
Namun, problem kesejahteraan yang akut di kalangan rakyat masih belum terpecahkan oleh sistem baru ini. Rakyat masih saja (bahkan) tergeser dari skala prioritas pemberdayaan negara. Apresiasi terhadap masyarakat lokal, misalnya, bukanlah pemberdayaan subtantif yang tulus terhadap setiap warganegara atas hak-hak sosial dan ekonomi mereka, namun hanyalah upaya untuk meliberalisasi komunitas lokal itu sehingga kian adaptif dan terintegrasi ke dalam sistem pasar. Jika tidak berhati-hati melangkah dan bersiasat menyikapi “kontrol” kekuatan suprastate, maka demokratisasi dan good governance hanya menjadi jargon kosong bagi pemberdayaan masyarakat. Kondisi semacam ini bisa diusung sebagai refleksi betapa demokrasi liberal-prosedural bukanlah corak demokrasi yang dibutuhkan rakyat yang begitu merana akibat himpitan kemiskinan dan keterbelakangan. Demokrasi jenis ini hanya bisa dinikmati segolongan elit yang memiliki akses untuk turut bermain di dalamnya. Rakyat kebanyakan, dengan segala ketimpangannya, hanya bisa berdiri di luar sistem dan tak mampu memanfaatkan demokrasi jenis ini untuk melakukan perubahan yang berarti bagi diri mereka sendiri.
Kekhawatiran munculnya ragam ketimpangan yang tak pernah dijawab oleh kalangan demokrasi liberal direkam oleh Bentham (Abrahamsen:2000) bahwa persoalan demokrasi representatif bukanlah pada pembatasannya terhadap aktivitas untuk memilih dalam pemilu, namun lebih pada tipisnya peluang untuk bisa terlibat dan mempengaruhi kebijakan, karena peluang itu akan sangat tergantung pada pelbagai sumberdaya, terutama uang, waktu, dan tingkat pendidikan. Kesemuanya itu jelas tidak merata di negara-negara selatan, termasuk Indonesia.
Argumentasi yang diajukan oleh tulisan ini tidak hendak meremehkan potensi demokrasi liberal sebagai tawaran ideologi yang penting bagi penataan sistem pemerintahan, seperti penyesahatan birokrasi yang sangat gemuk dan korup, mentalitas “perampok” para pejabat, penjaminan hak-hak formal warga negara, dan seterusnya. Namun, tulisan ini berupaya untuk melawan penyepelean demokrasi liberal terhadap hak-hak sosial-ekonomi dalam praktek politiknya. Nalar yang dibangun demokrasi liberal jelas mengabaikan semangat transformasi ekonomi-sosial-politik melalui pembatasan hak partisipasi rakyat oleh kokohnya kekuasaan elit politik dan dominasi kaum pemodal, yang disebut Bill Liddle, ‘power behind the throne..kekuasaan di balik singgasana. Kaum pemodal global inilah yang kerap menentukan hitam-putihnya kebijakan penguasa politik suatu negara, termasuk Indonesia.
Demokrasi Deliberative: Satu Agenda Aksi
Dalam perkembangannya, mekanisme politik representasi ala liberal tampak tak efektif lagi dalam merengkuh ide pokok demokrasi: memfasilitasi keterlibatan aktif warganegara, mendorong konsensus politik melalui dialog, merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan publik akan suatu ekonomi produktif dan kesehatan masyarakat, dan, dalam versi ide demokrasi yang lebih radikal dalam hal kesetaraan: menjamin tersebarnya kekayaan negara kepada semua warga (Fung & Wright:1999).
Tentu sistem politik yang mampu bekerja melaksanakan ide-ide demokratik semacam itu bukan datang dari demokrasi liberal, yang justru mengesampingkan arti penting partisipasi, pelayanan sosial dan pemberdayaan ekonomi warganya. Di akhir tulisan ini, akan direfleksikan satu gagasan radikal: mengembangkan suatu strategi demokrasi tranformatif yang mampu memecahkan persoalan fundamental masyarakat, terutama di negara berkembang. Satu model pengembangan demokrasi telah menjadi tawaran baru bagi sistem pemerintahan dan model perumusan kebijakan di suatu daerah atau negara.
Demokrasi model ini meyakini bahwa demokrasi merupakan suatu proses transformatif yang memungkinkan masyarakat dan pengambil kebijakan terlibat dalam partisipasi yang alami (genuin deliberation) untuk menentukan berbagai kebijakan (Farrelly, 2004). Demokrasi ini juga mengadvokasi munculnya partisipasi dalam demokrasi, kolaborasi antar stakeholders dalam proses policymaking, dan pengelolaan pemerintahan berbasis dialog yang sehat (Hajer and Wagenar,edt., 2003).
Demokrasi deliberative telah diujicobakan di beberapa negara untuk memampukan masyarakat sehingga turut terlibat dalam berbagai kebijakan yang langsung berhubungan dengan mereka. Misalnya kasus parcipatory budgeting di Porto Alegre Brazil, yang memungkinkan warga kota untuk merumuskan anggaran daerah dan sekaligus mengontrol penggunaannya. Juga The Panchayat Reform di West Bengal, India, di mana masyarakat mampu menciptakan saluran demokratik, baik langsung atau perwakilan, yang bertanggung jawab atas kekuasaan administratif dan perpajakan bagi warga pedesaan. Atau juga misalnya keberhasilan program Habitat Concervation Planning di beberapa negara dengan melibatkan banyak warganya (Fung and Wright, 1999).
Tantangan Indonesia hari ini tidak semata ada pada pembenahan sistem rekrutmen anggota lembaga perwakilan. Lebih dari itu, tantangan krusialnya justru terletak pada sejauh mana demokrasi perwakilan itu sendiri dapat beresonansi dengan pertimbangan dan partisipasi publik secara luas (deliberative democracy), termasuk yang terkait dengan medium-medium aspirasi dan partisipasi masyarakat yang bersifat informal.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar